REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ibrahim mencoba mengenang saat-saat dulu dia dan saudaranya mengisi waktu-waktu mereka saat Ramadhan. Seperti kebanyakan umat Islam lain, mereka buka puasa di masjid, lanjut Shalat Isya dan Tarawih kemudian sahur bersama keluarga.
Anak-anak, orangtua dan perempuan di waktu Ramadhan ramai mengisi masjid-masjid di kota Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar. Memakai gamis, memakai kerudung dan atribut lainnya.
Salah satu masjid yang ramai yaitu Bormosjid atau disebut Masjid Jami’ Sittwe yang menjulang besar di tengah kota. Masjid tua itu berusia hampir 400 tahun, sumbangan dari kerajaan Islam di India.
Saat hari raya, umat Islam Sittwe, yang mayoritas Rohingya, merayakan bersama dengan keluarga. Mereka saling berkunjung satu sama lain.
Namun, bagi Ibrahim itu semua sekarang menjadi cerita masa lalu. Ibrahim termasuk beruntung karena masih bisa menyelesaikan studinya di universitas di Sittwe. Namun saat ini ia harus membantu banyak saudaranya yang tinggal di kamp pengungsian.
Pascakonflik 2012, bagi Muslim Rohingya di Sittwe, tidak ada lagi romantisme Ramadhan seperti dulu. Semua masjid di Sittwe ditutup dan Muslim Rohingya dilarang untuk bepergian ke kota, terkungkung dalam pagar-pagar berduri yang mengelilingi tempat pengungsian.
“Sudah lima tahun berlalu pascakonflik, namun situasi tidak banyak mengalami perubahan," katanya seperti dimuat dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Sabtu (24/6).
Kondisi desa-desa Rohingya yang mengelilingi kamp-kamp pengungsian semakin menurun daya dukungnya, akibat kebijakan pembatasan bergerak. Ini membuat warga Rohingya sulit mencari pekerjaan, bercocok tanam atau menjual hasil buminya.
"Bahkan, saat ini antara kondisi penduduk desa dan pengungsi yang ada di barak tidak ada perbedaan, keduanya sangat memerlukan bantuan kemanusiaan,” ujar relawan PKPU yang menghabiskan sebagian besar Ramadhan ini di Sittwe, Deni Kurniawan.
Deni menambahkan, Ramadhan tahun ini kondisi pengungsi Rohingya semakin memprihatinkan akibat bersamaan dengan musim penghujan dan angin topan. Angin topan MORA yang menerpa wilayah Rakhine dan Bangladesh, menurut Deni, telah menghancurkan rumah-rumah semi permanen yang ditinggali pengungsi hingga habis tak berbekas. Hujan dan badai juga terus terjadi sepanjang hari.
PKPU menyalurkan paket bantuan untuk Muslim Rohingya di kamp pengungsian
PKPU dalam merespon situasi tersebut, selama Ramadhan ini telah mendistribusikan 2.040 paket sembako untuk 2.000 keluarga Rohingya yang tersebar di berbagai kamp pengungsian dan desa sekitarnya. Mereka juga mendistribusikan 600 paket pakaian dan alat kebersihan untuk menggantikan barang-barang pengungsi yang hilang tersapu badai.
Dikatakan Deny, jalanan menuju kamp yang penuh lumpur menyulitkan dalam pendistribusian logistik. Terlihat pemandangan para pengungsi yang mencoba memperbaiki atap-atap rumah sementara mereka. Itu dilakukan agar dapat melindungi mereka ketika hujan datang.
Saat ini etnis Rohingya tersebar di berbagai kamp pengungsian di negara bagian Rakhine, Myanmar. Ada sekitar 120 ribu orang yang tinggal di rumah-rumah sementara sebagai pengungsi dan ribuan lainnya tinggal di desa sekitar kamp, yang terisolasi akibat kebijakan pembatasan bergerak.