REPUBLIKA.CO.ID, Terdapat hubungan yang erat dan kuat antara Muslim Nusantara dan jantung intelektual dunia Islam, yaitu Makkah dan Madinah pada abad ke-18. Ini salah satunya dibuktikan oleh adanya surat meminta fatwa (risâlah al-istiftâ) yang dikirimkan oleh Muslim Nusantara ke salah seorang ulama sentral Madinah saat itu, dalam hal ini adalah Syekh Muhammad ibn Sulaiman al-Kurdi al-Madani (w 1780 M).
Menurut Direktur Islam Nusantara Center, Ahmad Ginanjar Sya’ban, dalam manuskrip berjudul “Tarjamah al-Syaikh Muhammad Sulaimân al-Kurdî” (koleksi perpustakaan King Saud University, Riyadh, dengan nomor kode 5628) yang berisi sejarah hidup dan karya-karya Syekh Muhammad, didapati data dan informasi penting terkait sejarah Islam Nusantara, yaitu karyanya yang berjudul “al-Durrah al-Bahiyyah fî Jawâb al-As’ilah al-Jâwiyyah”.
Menyimak judulnya, kata Ginanjar yang merupakan alumni Universitas al-Azhar, Kairo Mesir ini, kitab “al-Durrah al-Bahiyyah fî Jawâb al-As’ilah al-Jâwiyyah” sudah bisa dipastikan berisi kumpulan fatwa Syekh Muhammad atas beberapa persoalan yang datang dari Nusantara.
Risalah ini, kata dia, menghimpun fatwa Syekh Muhammad, atas lima permasalahan yang dikemukakan oleh umat Muslim Nusantara dari wilayah “Johor” di Semenanjung (kini Malaysia). Karena itu pulalah, dalam judul disebutkan “al-Asilah al-Jâwiyyah al-Juhriyyah” (Soalan-soalan [dari] Negeri Jawi Johor). Risalah ini selesai ditulis pada Selasa, 25 Safar 1070 Hijriyah (11 November 1659 M).
Sayangnya, ungkap Ginanjar, hingga saat ini keberadaan manuskrip kitab ini belum berhasil ditemukan, sehingga masalah-masalah Nusantara apa saja yang diajukan kepada Syekh Muhammad tidak dapat terlacak. “Demikian pula halnya dengan jawaban fatwa yang diberikan oleh beliau,” kata dia saat berbincang dengan Republika.co.id di Jakarta, Senin (10/4).
Padahal, imbuh Ginanjar, Syekh Muhammad adalah salah satu guru ulama Nusantara di tanah suci antaralain Syekh Abdul Shamad Palembang, Syekh Arsyad Banjar, Syekh Abdul Wahhab Bugis, Syekh Abdul Rauf Singkel (w 1693 M) dan Syekh Yusuf al-Taj al-Khalwati al-Jawi (Yusuf Makassar).