REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Agama Islam masuk ke wilayah Afrika bagian Timur, khususnya Uganda, memang terbilang masih baru. Tepatnya, pada sekitar pertengahan abad ke-19. Ketika itu, para padagang Arab dan Muslim dari Zanzibar mulai membuka hubungan niaga dengan penduduk setempat melalui jalur sepanjang pesisir pantai Afrika bagian timur. Komoditas perdagangan antara lain adalah serbuk mesiu, garam, serta pakaian untuk kemudian ditukar dengan gading.
Seiring aktivitas perniagaan, terjadi proses asimilasi (pembauran). Sebagian penduduk lokal tertarik dengan agama baru yang dibawa oleh para pendatang tersebut dan mereka akhirnya menjadi Muslim. Agama Islam semakin berkembang setelah kabaka (raja) Mutesa I yang memerintah antara tahun 1832 dan 1856 juga memeluk Islam.
Pada masa kekuasaan Mutesa I pula, bangsa Barat menginjakkan kaki untuk kali pertama di wilayah Uganda. Gelombang pertama yang datang adalah misionaris gereja Anglikan di bawah pimpinan John Speke dan James Grant pada tahun 1862. Sedangkan, gelombang kedua kehadiran orang-orang Eropa terjadi tahun 1875, yakni dari kelompok Henry Stanley.
Empat tahun kemudian, datang kaum Gereja Katolik Roma pimpinan Simon Lourdel. Para pendatang ini tidak menemui konfrontasi, melainkan disambut hangat oleh Mutesa I. Mereka diizinkan untuk tinggal ataupun melakukan kontak dagang.
Orang-orang Eropa tadi sangat terkesan dengan sikap raja. Oleh karena itulah, mereka merekomendasikan pimpinan masing-masing negara untuk tidak memperlakukan Uganda sebagai jajahan. Keinginan itu diwujudkan dengan pemberian status protektorat bagi Uganda.
Di bawah Mutesa, agama Islam tumbuh subur. Namun, gerakan misionaris yang gencar ke wilayah-wilayah pedalaman membuat sebagian besar penduduk akhirnya memeluk Nasrani. Hingga kini, umat Muslim menjadi minoritas dengan persentase 12 persen dari populasi.
Naiknya Idi Amin, yang beragama Islam, menjadi presiden Uganda tahun 1971 membuka harapan bagi komunitas Muslim. Akan tetapi, tahun 1972, Idi Amin justru mengusir orang-orang Asia dari negara itu yang mengakibatkan berkurangnya jumlah orang Islam secara signifikan.
Bukannya makin lembut, Amin justru berubah menjadi seorang diktator. Kondisi itu lantas berdampak pada komunitas Muslim. Mereka memilih untuk menjauh dari lingkaran pemerintahan. Masalah terus merundung umat Muslim setelah Amin tidak lagi berkuasa pada tahun 1979 sebab mereka berada di tengah-tengah pertikaian antara etnis Kakwa dan Nubian sebagai pendukung Amin.
Sekali lagi, kaum Muslim tampil menjadi orang nomor satu di Uganda, yakni pada sosok Yusuf Lule. Dia terpilih sebagai presiden tahun 1980. Sebagian kalangan menilai, sebagai politikus, Yusuf Lule memang kurang cakap. Namun, selama pemerintahannya, dia berhasil mengurangi stigma negatif yang sebelumnya melekat pada komunitas Muslim.
Umat Muslim mulai menata kehidupan. Tahun 1989, Presiden Yoweri Museveni mengajak komunitas Muslim Uganda untuk berkontribusi secara aktif dalam proses pembangunan. Dia juga meminta segenap masyarakat agar tidak lagi berlaku diskriminatif terhadap umat Islam.
Secara bertahap, kondisi kian membaik. Ini ditunjukkan dengan geliat umat dalam meningkatkan taraf kehidupan di berbagai bidang. Masjid dan madrasah bermunculan. Tak ketinggalan, Universitas Islam Uganda yang berlokasi di kawasan Mbale terus menuai prestasi akademis.