Rabu 15 Feb 2017 17:45 WIB

Dua Pilihan Abdurrahman Al Gonzaga

Rep: Yusuf Assidiq/ Red: Agung Sasongko
Mualaf (ilustrasi)
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dari situlah, dia mulai merasakan hidupnya tidak terarah, mudah berpikiran negatif, bahkan kerap putus asa. Sampai dia bertemu rekan sesama mualaf, Ibu Wiwik namanya, pada 2005. Ia menanyakan kabar Abdurrahman, yang segera dijawab bahwa hidupnya kian susah setelah masuk Islam. Tak dinyana, ibu Wiwik bertanya tentang shalat lima waktunya. Ya, masih bolong-bolong, jawab dia. Maka sekonyong-konyong, Bu Wiwik berkata, Ya wajar hidupmu susah. Kewajibanmu terhadap Allah SWT saja belum terpenuhi, kok kamu minta hakmu.

Kata-kata itu menyentuh batinnya yang terdalam. Sejak itu, saya memaksakan diri untuk selalu shalat lima waktu hingga sekarang, tegas Abdurrahman. Ibadah lain yang juga dirasakan berat yakni puasa. Sebab, ini adalah hal yang baru baginya. Memang, dalam agama Katolik ada puasa pula, tapi puasa yang dilakoni hanya mengurangi porsi makan. Sedangkan di Islam, tidak boleh makan sama sekali. Maka, selama enam tahun pertama, dia tidak bisa puasa penuh. Dan hidayah kembali datang.

Pada suatu malam takbiran, di kampung istrinya diadakan lomba takbir keliling. Menyaksikan itu, tanpa terasa ia menangis. Karena saya berpikir, mereka bertakbir untuk merayakan kemenangan atas hawa nafsu dan puasa sebulan penuh. Tapi, saya rayakan apa? tanya Abdurrahman dalam hati. Sentuhan itu membuatnya membulatkan niat untuk bisa puasa penuh pada Ramadhan berikutnya. Dia mengatakan, yang mengalami problem serupa ternyata bukan hanya dia sendiri, melainkan rekan sesama mualaf yang lain.

Hidup jadi susah, ekonomi sulit, susah bergaul, dan banyak lagi. Namun, apabila dirunut lagi, sambungnya, masalah berawal dari ibadah shalat yang belum benar. Semua itu harus dibenahi. Belajar dari sana, saya pun memacu diri serta terus memotivasi teman-teman lain untuk beribadah dengan sebenarnya, tutur dia lagi. Kepada dirinya sendiri, keluarga, dan teman mualaf, Abdurrahman selalu menyampaikan bahwa mereka dipanggil masuk Islam tidak sekadar memeluk agama ini, tapi harus berjuang memantapkan iman Islam, dan itu harus dimulai dari diri sendiri. Masuk Islam bukan suatu kebetulan, tapi hidayah dan rahmat Allah SWT. Kalau ca ra pandang kita seperti itu, insyaAllah membuat kita kuat ketika menghadapi kesulitan dan aneka tantangan, tutur nya ber pesan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement