Rabu 15 Feb 2017 17:45 WIB

Dua Pilihan Abdurrahman Al Gonzaga

Rep: Yusuf Assidiq/ Red: Agung Sasongko
Mualaf (ilustrasi)
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Abdurrahman mengaku tidak bisa membohongi kata hatinya, sehingga ia pergi dari rumah orang tua angkatnya dan pindah indekos. Sejumlah tokoh agama Islam ia sambangi untuk berkonsultasi. Temannya yang sudah mualaf pernah membawanya kepada Ustaz Jatnika. Lantas, ia dipertemukan dengan Kakanwil Depag DIY, Sugiyono. Sejak itu, dia kerap ikut ke masjid, melihat umat Muslim yang sedang shalat.

Saya jadi ingin shalat juga. Maka, pada 1 April 2000, saya minta disyahadatkan, tegas Abdurrahman. Pengucapan dua kalimat syahadat berlangsung di Masjid Kakanwil Depag. Hati saya plong. Di tengah bahagianya, ujian berat muncul. Dia tidak mungkin kembali ke gereja, rumah orang tua angkatnya, terlebih keluarganya di Kupang. Untuk sementara waktu, ia tinggal di rumah temannya, dan bekerja sebagai sales dan bisnis jaringan.

Tidak mudah menjadi mualaf. Hal itu dirasakannya pada lima tahun pertama. Selama itu, Abdurrahman mengaku belum menemukan model pembinaan seperti diharapkan. Padahal, sebelumnya ia membayangkan, pembinaan bagi mualaf telah terprogram, punya tahapan jelas. Beberapa lembaga dan majelis taklim yang didatangi ternyata belum sesuai harapan. Kita ingin dibimbing untuk belajar ibadah dasar, mengaji Alquran, mengkaji maknanya, dan sebagainya.

Intinya, pembinaan yang terarah. Na mun, itu belum saya temukan, ucapnya. Dia sempat putus asa dengan kondisi ini. Akan tetapi, tekadnya telah bulat, tantangan tersebut tidak sampai melemahkan semangatnya berislam. Maka, Abdurrahman meniatkan belajar mandiri, bertanya pada teman, atau dari ustaz ke ustaz. Alhamdulillah, Allah SWT membukakan jalan. Dia di pertemukan dengan orangorang yang bisa memberikan ilmu serta menjadi panutan. Buat saya, Islam seperti ini. Allah tunjukkan beberapa alternatif, tinggal saya kemudian memilih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement