REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Diceritakan oleh sahabat Anas bin Malik ra, di antara tradisi yang berlaku di kalangan sahabat tatkala salah satu di antara mereka atau keluarganya melangsungkan pernikahan, mereka memberikan nasihat bagi mempelai perempuan agar mengurus rumah suami. Hal ini sebagai bentuk kewajiban dan kepatuhan kepadanya.
Konsep keluarga yang digariskan dalam Islam memosisikan perempuan sebagai mitra utama suami untuk mengelola hal ihwal dalam rumah. Selain berupa nonfisik, seperti mendidik dan mengawasi anak, istri memiliki tugas pula, yaitu mengurus rumah.
Misalnya saja, berkaitan dengan kebutuhan sehari-hari, seperti keperluan belanja, mengontrol biaya listrik dan air. Termasuk, menjaga kondisi rumah tetap dalam kondisi rapi, bersih, dan nyaman. Kisah yang disampaikan Anas menjadi salah satu dasar yang menunjukkan pentingnya keaktifan seorang istri mengurus rumah.
Namun, fakta di atas bukan berarti semua tugas pengurusan rumah terletak di pundak istri, alias suami tidak bisa dan atau tidak boleh membantu. Malah sebaliknya, suami diperkenankan terlibat langsung meringankan aktivitas istri tersebut. Hal ini sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Konon, seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah ra, bahwasanya Nabi Muhammad SAW turun tangan langsung mengerjakan pekerjaan rumah bahumem bahu bersama istri-istrinya. Sepan jang hari, Rasulullah selalu menyempatkan membantu istrinya. Sandal yang telah putus beliau sambung sendiri dan saat mendapati pakaiannya robek, tak segan figur teladan umat Islam tersebut justru menjahitnya langsung, tanpa menyuruh istrinya.
Islam menekankan pentingnya menjaga kebersihan badan, pakaian, makanan sehari-hari, dan lingkungan. Allah SWT berfirman dalam surah al-Muddatsir ayat 4, “Dan pakaianmu bersihkanlah.” Di bagian lainnya, Rasulullah menegaskan, kebersihan merupakan senjata ampuh membentengi dari dari serangan penyakit.
Karena itu, Nabi SAW mengaitkan hubungun kuat antara iman dan kebersihan. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Malik al-Harits bin ‘Ashim al-Asy’ari menguatkan hal itu. Bahwasanya Rasulullah bersabda, “Kebersihan sebagian dari iman.” (HR Muslim).
Dalam buku al-Jami’ fi Fiqh an-Nisa’ karangan Syekh Kamil Muhammad Uwaidah, dijelaskan ada beberapa hal terkait kebersihan dan kerapian yang lazim diperhatikan oleh Muslimah, terutama saat berada rumah. Baik yang berkaitan dengan badan berikut aksesori meliputi baju atau jilbab—contohnya— yang melekat maupun segala perabot dan peralatan.
Terkait kebersihan anggota badan dan pakaian, hendaknya Muslimah memperhatikan kesuciannya. Bila ada bagian yang terkena najis maka harus dicuci dengan air hingga bersih. Selama telah disucikan dengan maksimal meksipun masih ada bekas yang sulit dibersihkan seperti darah maka diberikan keringanan.
Driwayatkan dari Asma’ binti Abu Bakar ra ia menceritakan, ada seorang wanita mendatangi Rasulullah seraya bertanya, “Salah seorang di antara kami pakaiannya terkena darah haid, apa yang harus ia perbuat?” Beliau menjawab, “Garuk, kemudian gosoklah dengan air dan selanjunya bersihkan (bilas) kembali dengan air. Setelah itu, boleh ia pergunakan untuk mendirikan shalat.”
Soal perkakas, istri Muslimah bekewajiban membersihkan cermin, pisau, piring, dan barang-barang lainnya. Hal ini bisa ditempuh dengan cara menghilangkan bekas najis, bila ada najis di barang tersebut. Konon, para sahabat Rasulullah juga kerap mengerjakan shalat dengan membawa pedang mereka yang masih terlumuri darah dan mereka menganggap hanya dengan usapan cukup untuk menyucikannya.
Kesucian lantai juga penting diperhatikan, antara lain, dengan mengontrol sandal, sepatu, dan alas kaki lainnya. Sebuah riwayat dari Abu Dawud dari Abu Hurairah menegaskan, pensucian alas kaki yang terkena najis bisa dilakukan dengan menggosok bagian yang terdapat najis menggunakan tanah sampai bekas najis itu hilang.
Rasulullah memperhatikan juga pentingnya makanan atau minuman tetap steril dan higienis. Misalnya, membersihkan mentega yang terkena najis berupa bangkai, contohnya. Bila mentega itu mengeras maka bagian yang terkena najis harus dibuang. Selama bisa dipastikan, tak terdapat potongan lain yang terciprat najis.
Dengan demikian, membersihkan makanan beku yang tersentuh najis cukup dengan membuang bagian yang terkena. Pendapat ini merupakan kesepakatan para ulama sebagaimana hadis riwayat Bukhari dari Ibju Abbas dari Maimunah. “Bahwa Nabi pernah ditanya tentang seekor tikus yang jatuh dalam mentega. Lalu, beliau menjawab, ‘Ambil (angkat) bangkai itu serta mentega yang berada di sekelilingnya, lalu buanglah dan makanlah mentega kalian itu (sisa yang tak terkena najis).’”
Sedangkan, bila najis mengenai sesuatu yang cair maka terdapat perbedaan pen dapat. Menurut mayoritas ulama, ben da cair yang terkena najis itu berupa bangkai dihukumi najis secara keseluruh an. Akan tetapi, dalam pandangan az-Zuh ri dan al-Auza’I, hukum benda cair itu sa ma dengan hukum yang berlaku pada air.
Artinya, selama unsur benda cair itu tidak berubah maka hukumnya masih suci. Sebaliknya, bila keberadaan bangkai memengaruhi dan mengubah unsur dasarnya maka benda itu tak lagi suci, tetapi berubah najis akibat unsur luar, yaitu bangkai dalam hal ini. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, dan Bukhari.