REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Arisan kerap menjadi aktivitas sampingan kaum ibu. Lewat arisan, ibu-ibu bisa menabung yang hasilnya bisa diambil lebih dulu ketika undiannya keluar. Tidak hanya itu, kaum perempuan juga lazimnya menggunakan arisan sebagai sarana untuk bersosialisasi. Kaum ibu dapat bersilaturahim dengan para tetangga, teman pengajian, hingga kawan lama di SMA atau kuliah.
Istilah arisan sering digunakan untuk beragam bentuk transaksi keuangan. Dari yang hukumnya halal, hingga haram. Sebagai salah satu bentuk muamalah, banyak ulama berpendapat bahwa hukum arisan adalah mubah, termasuk fatwa dari Kerajaan Saudi. Muamalah disebut halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya. "Dialah Allah yang menciptakan segala yang ada di muka bumi untuk kalian semuanya." (QS al-Baqarah: 29).
Tema arisan kali ini adalah bentuk arisan RT atau arisan ibu-ibu. Misalnya, peserta sepakat untuk mengadakan arisan sebulan sekali. Ada 25 orang anggota dan masing-masing membayar Rp 100 ribu tiap arisan. Sudah sejak awal sudah ditentukan bahwa pertemuan arisan ini sebanyak 25 kali sesuai dengan jumlah anggota. Setiap bulan, dikocoklah nama-nama anggota. Jika namanya muncul, berarti berhak mendapatkan uang sebanyak Rp 100 ribu dikali 25 orang, yaitu Rp 2,5 juta.
Bulan depan, mereka berkumpul lagi dan melakukan hal yang sama. Kali ini, yang namanya sudah pernah keluar tidak akan mendapat lagi. Begitu seterusnya undian itu dilakukan hingga habis 25 kali arisan. Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Yogyakarta berpendapat, model arisan seperti ini sama sekali tidak ada unsur judi, penipuan, pemerasan, atau untung-untungan. Pada hakikatnya semua uang akan kembali lagi kepada pemiliknya tanpa adanya tambahan.
Tidak ada satu pun pihak yang dirugikan atau diuntungkan. Kalaupun ada istilah 'menang arisan' maka sebenarnya dia tidak menang, hanya saja dia sedang mendapat giliran menerima uang arisan. Pada kesempatan berikutnya, orang lainlah yang akan mendapat giliran. Jadi, pada hakikatnya tidak ada isitilah menang dan kalah, yang ada dapat giliran atau tidak.
Lebih jauh, MES Yogyakarta menjelaskan, arisan yang dibolehkan adalah bila memenuhi kriteria berikut: Semua peserta arisan melakukannya dengan niat yang baik dan tulus, sehingga tidak mungkin mangkir dari kewajibannya ketika sudah pernah mendapat giliran atau istilahnya menang. Hal ini bisa diatasi dengan kontrak.
Semua dilakukan atas dasar ridha dan kerelaan, bukan paksaan atau karena tekanan dari pihak tertentu karena pada hakikatnya arisan itu adalah hadiah bergilir yang telah disepakati sebelumnya. Tidak boleh dilakukan praktik-praktik ribawi, perjudian, penipuan, penggelapan, penilepan, dan hal-hal lain yang dilarang syariat. Acara yang digelar dalam arisan itu harus mengacu kepada etika dan akhlak Islam, bukan berhura-hura atau menghamburkan uang.
Terkait dengan model arisan arisan undian, yaitu secara bergiliran setiap peserta mendapat uang tabungan. Misalnya, peserta 10 orang dengan penarikan tiap pekan maka setiap orang akan mendapat uangnya sebanyak 10 kali nilai setoran, tapi urutannya sesuai undian. Kalau modelnya seperti ini, sebenarnya di dalam proses arisan tersebut jika dilandasi saling membantu (takaful) ini tidak persoalan, seperti halnya asuransi syariah.
Hanya, ada beberapa bentuk arisan yang memang diharamkan. Contohnya, arisan haji. Berdasarkan fatwa MUI DKI Jakarta, arisan haji dengan skema arisan yang disebut di atas diharamkan. Arisan haji dilarang dengan alasan arisan haji sama saja meminjam uang secara kolektif kepada peserta arisan lainnya.
Ini dipandang akan memberatkan diri atau keluarga yang ditinggalkan jika wafat. Padahal, Rasulullah SAW telah melarang seseorang berutang atau meminjam uang kepada orang lain untuk membayar biaya haji.
Sebagaimana disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan Imam Baihaqi. "Sahabat Thariq berkata: Saya telah mendengar sahabat yang bernama Abdullah ibn Abi Aufa bertanya kepada Rasulullah SAW tentang seseorang yang tidak sanggup naik haji, apakah dia boleh meminjam uang untuk menunaikan ibadah haji? Nabi menjawab: Tidak!"