Sabtu 31 Dec 2016 20:36 WIB

Ambil Untung tanpa Batas Maksimal, Bolehkah?

Rep: A Syalaby Ichsan/ Red: Agung Sasongko
 Pembeli meliahat barang yang di jual Pedagang kaki Lima (PKL) di Pasar Balimester, Jatinegara, Selasa (22/11).
Foto: Republika/Prayogi
Pembeli meliahat barang yang di jual Pedagang kaki Lima (PKL) di Pasar Balimester, Jatinegara, Selasa (22/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Amat banyak anak muda Muslim yang terinspirasi dengan kisah Rasulullah. Komunitas-komunitas usaha pun dibangun demi menciptakan jejaring wirausaha.

Mentoring dilakukan untuk membangun jaringan dan berbagi ilmu juga pengalaman bisnis. Hanya, masih menjadi pertanyaan di kalangan para pengusaha muda itu bolehkah mengambil untung atau laba tanpa batas maksimal? Apakah Islam mengatur batasan berapa yang diambil pedagang dalam mengambil laba dari barang yang diperjualbelikan?

Berdagang adalah salah satu kegiatan yang cukup sering dibahas di dalam Alquran. Allah SWT menghalalkan dagang dan mengharamkan riba. "...Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.."(QS Al Baqarah:275). Di dalam surah lainnya, Allah SWT berfirman agar orang-orang beriman tidak memakan harta sesamanya dengan jalan yang batil. Kecuali dengan jalan perniagaan. "Hai orang-orang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara kamu" (QS An-Nisa:29).

Yusuf Qaradhawi dalam Fiqih Kontemporer menjelaskan, Tijarah (berdagang) adalah membeli sil'ah (barang dagangan) dan menjualnya kembali dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan. Tajir (pedagang) adalah orang yang membeli sil'ah untuk dijualnya kembali dengan maksud mendapat keuntungan. Sil'ah kadang-kadang disebut dengan al-bidha'ah atau al-'ardh dengan bentuk jamak al-'urudh. Sedangkan, ar-ribh (keuntungan), yaitu tambahan harga barang yang diperoleh pedagang antara harga pembelian dan penjualan barang yang diperdagangkannya.

Di dalam QS al-Jumuah, Alquran membahasakan jual beli lewat pesan tersirat, yakni mencari karunia Allah (Fadhlillah). Firman Allah itu disampaikan seusai menyeru orang-orang beriman untuk melaksanakan shalat Jumat. "Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu untuk mengingat Allah dan tinggalkan jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung. (QS al-Jumuah ayat 9-10).

Kegiatan manusia untuk mencari karunia Allah SWT lewat berdagang dilakukan untuk mencari keuntungan. Mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani, Qaradhawi menjelaskan adanya batas keuntungan minimal yang harus diraih oleh pedagang. Hadis itu berbunyi,"Perdagangkanlah harta anak-anak yatim, jangan sampai dimakan zakat."

Qaradhawi menjelaskan, hadis tersebut menunjukkan adanya batas minimal keuntungan yang harus diperoleh pedagang. Keuntungan tersebut sepatutnya dapat digunakan untuk membayar zakat modal yang digunakan untuk berdagang. Ketika zakat 2,5 persen dikeluarkan, harta yang diperoleh tinggal 97,5 persen. Karena itu, modal seharusnya tidak termakan zakat dan cukup untuk nafkah dirinya beserta keluarganya.

Dengan dalil ini, Qaradhawi beralasan, pemilik modal yang sedikit harus mendapatkan keuntungan lebih banyak. Caranya sesuai dengan strategi perdagangan yang ditempuh. Apakah dengan menaikkan frekuensi pemutarannya atau menaikkan margin labanya sehingga keuntungannya dapat digunakan untuk menutup kebutuhan keluarga. Jika tidak demikian, modal akan dikurangi oleh kebutuhan rumah tangga.

Lantas, bagaimana jika si pedagang tidak menetapkan margin laba maksimal? Qaradhawi menjelaskan, tidak ada satu pun ayat dalam Alquran atau hadis yang mewajibkan atau menyunahkan batas keuntungan tertentu. Apakah sepertiga, seperempat, seperlima, atau sepersepuluh dari pokok barang sebagai ikatan dan ketentuan yang tidak boleh dilampaui.

Rasulullah SAW bahkan, pernah mendapatkan laba hingga 100 persen saat jual beli kambing. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, "Bahwa Nabi SAW memberinya (urwah) uang satu dinar untuk dibelikan kambing. Maka, dibelikannya dua ekor kambing dengan uang satu dinar. Kemudian, dijualnya yang seekor dengan harga satu dinar. Setelah itu, ia datang kepada Nabi SAW dengan membawa uang satu dinar dan seekor kambing. Kemudian, Nabi SAW mendoakan semoga jual belinya mendapat berkah. Dan seandainya uang itu dibelikan tanah, niscaya mendapat keuntungan pula".

Dikutip dari buku Fikih Ekonomi Keuangan Islam, semua perniagaan yang dicontohkan di dalam Islam tidak mengandung unsur kezaliman. Tak ada penipuan, manipulasi, monopoli, memanfaatkan keluguan, dan ketidaktahuan pembeli, terdesaknya kondisi pembeli kemudian harga ditinggikan. Di sisi lain, Islam mengajarkan umatnya untuk bersyukur atas rezeki yang diberikan Allah SWT berapa pun nilainya. Sesuai firman Allah SWT QS Al Baqarah:172. "Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah."

Ali bin Abi Thalib terbiasa berkeliling pasar Kufah dengan membawa tongkat. Dia berseru kepada para pedagang. "Hai para pedagang, ambillah hak kalian, kalian akan selamat. Jangan kalian tolak keuntungan yang sedikit, karena kalian bisa terhalang mendapatkan keuntungan yang besar." Wallahualam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement