Jumat 28 Oct 2016 14:33 WIB

Wanita Jadi Juru Bicara, Apa Pandangan Ulama?

Rep: A Syalabi Ichsan/ Red: Agung Sasongko
Juru Bicara Ilustrasi
Foto: deviantart.net
Juru Bicara Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perempuan pada zaman ini memiliki peran yang tak kalah penting dari laki-laki. Berbagai pekerjaan yang dahulu hanya dilakukan kaum pria, dapat dilakukan pula oleh kaum wanita dengan hasil yang tak kalah baiknya. Tak jarang pula perempuan tampil di hadapan menjadi juru bicara. Ketangkasan yang dibalut dengan kelembutan dalam beretorika menjadikan perempuan pilihan tepat untuk terlihat di muka publik.

Lantas, benarkah anggapan sebagian kalangan yang mengatakan bahwa Islam melarang perempuan menggunakan suara untuk bekerja lantaran takut ada fitnah? Bukankah suara wanita merupakan bagian dari aurat sebagaimana bagian tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan?

Banyak kalangan yang mempermasalahkan pilihan perempuan untuk tampil ke publik karena mendasarkan diri dengan dalil Hadis Riwayat Imam Bukhari. "Tidaklah aku tinggalkan sesudahku suatu fitnah yang lebih membahayakan laki-laki daripada (fitnah) perempuan."

Yusuf Qaradhawi dalam Fatwa-Fatwa Kontemporer menjelaskan, hadis tersebut harus dilihat dari konteksnya. Dalam hal ini, Allah SWT juga pernah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang membuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi." (QS al-Munaafiqun: 9).

Sebagaimana mengkhawatirkan manusia akan terfitnah oleh harta dan anak-anak, Allah SWT pun khawatir manusia terfitnah oleh wanita, terfitnah oleh istri-istri mereka yang menghambat dan menghalangi mereka dari perjuangan, dan menyibukkan mereka dengan ego pribadi. Alquran pun memperingatkan, "Hai orang-orang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka …" (QS at-Taghabun: 14).

Karena itu, konteks menjadi fitnah di sini, yakni apabila mereka menjadi alat untuk membangkitkan nafsu dan syahwat serta menyalakan api keinginan dalam hati kaum laki-laki. Ini merupakan bahaya sangat besar yang dikhawatirkan dapat menghancurkan akhlak, mengotori harga diri, dan menjadikan keluarga berantakan serta masyarakat rusak.

Para penceramah terkadang kehilangan konteks dalam membawakan hadis dan ayat tentang perempuan. Boleh jadi, hal tersebut dijadikan alat oleh suatu kaum untuk menjelek-jelekkan kaum perempuan. Sebagian lagi untuk menjelek-jelekkan Islam. Mereka menuduh Islam itu bersikap keras kepada wanita dan bersikap zalim.

Padahal, Islam sebenarnya memuliakan wanita sebagai manusia untuk bertanggung jawab utuh seperti halnya laki-laki. Kelak, setiap manusia entah apa pun gendernya akan ditagih tanggung jawab langsung kepada Allah SWT.

Tugas mula-mula bukan untuk laki-laki, melainkan untuk manusia sebagaimana dicantumkan dalam QS al-Baqarah 35. "Dan kami berfirman: 'Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja kamu sukai. Dan janganlah kamu dekati pohon ini yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang zalim'."

Tak hanya itu, Allah SWT pun menyuruh lelaki dan perempuan saling menolong. Jadi, bukan sekadar lelaki yang menjadi penolong bagi perempuan.  "Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang makruf, mencegah dari yang munkar. Mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah…" (QS at-Taubah:71).

Lebih lanjut, Qaradhawi menulis bagaimana bisa terjadi diskriminasi padahal alquran selalu menyejajarkan Muslim dengan Muslimah. Perempuan beriman dengan lelaki beriman, perempuan taat dan lelaki taat.

Sederet riwayat tentang peran perempuan di dalam kehidupan bermasyarakat sebenarnya sudah terekam sejarah. Pernah ada seorang perempuan bertanya kepada Nabi SAW di hadapan kaum laki-laki. Ia tidak merasa keberatan melakukan hal itu dan Nabi pun tidak melarangnya. Pernah juga ada seorang wanita yang menyangkal pendapat Umar ketika Umar sedang berpidato di atas mimbar. Atas sanggahan itu, Umar tidak mengingkarinya, bahkan ia mengaku  kebenaran perempuan tersebut dan mengakui kesalahannya sendiri seraya berkata, "Semua orang (bisa) lebih mengerti daripada Umar."

Kita juga mengetahui seorang perempuan muda, putri Syekh yang sudah tua (Nabi Syu'aib) yang berkata kepada Musa, sebagai dikisahkan dalam Alquran. "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap (kebaikan) mu memberi minum (ternak) kami." (al-Qashash:25).

Sebelum itu, perempuan tersebut dan saudara perempuannya juga berkata kepada Musa, ketika Musa berkata kepada mereka, "Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu? Kedua wanita itu menjawab, 'Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya) sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut usia'."

Begitu pula kisah Nabi Sulaiman saat berbincang dengan Ratu Saba. Ratu Saba pun bercakap-cakap dengan orang yang umumnya laki-laki.

Lebih jauh, Qaradhawi mengatakan, apa yang dilarang Allah SWT bagi perempuan adalah melunakkan pembicaraan untuk menarik laki-laki yang diistilahkan oleh Alquran dengan al-Khudhu bil-qaul (tunduk/lunak/memikat dalam berbicara). "Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti perempuan yang lain, jika kamu bertakwa, janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya. Dan ucapkanlah perkataan yang baik." (al-Ahzab: 32).

Allah melarang khudhu, yakni bicara yang bisa membangkitkan nafsu orang-orang yang hatinya berpenyakit. Namun, dengan ini bukan berarti Allah melarang semua pembicaraan wanita dengan setiap laki-laki. Hendaknya, kita pun memperhatikan ujung ayat ini. "Dan ucapkanlah perkataan yang baik."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement