REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekelompok sahabat Nabi SAW tengah melakukan perjalanan. Di tengah-tengah jalan, mereka mendapati seorang laki-laki terkena gigitan ular, tak jauh dari lokasi sebuah sumur. Keluarga lelaki tersebut lantas menanyakan siapa di antara rombongan yang mahir dalam ruqyah.
Seorang sahabat—riwayat lain menyebut Abu Said Al Khudri—membacakan surah al-Fatihah. Allah SWT memberi kesembuhan. Sebagai imbalan, keluarga memberinya sejumlah ekor kambing. Mengetahui praktik itu, para sahabat mempertanyakan legalitas mengambil upah dari Alquran.
Sesampainya di rumah, kejadian itu diceritakan kepada Rasulullah. Dalam sabdanya, praktik mengambil upah atas jasa tersebut diperbolehkan. “Sesungguh nya yang lebih berhak kalian tarik upah ialah Alquran,”demikian Rasulullah bersabda.
Dalam Islam, praktik pemberian upah atas jasa semacam itu disebut dengan ju’alah. Dinukil dari Kitab Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, karya Syekh Dr Wah bah az-Zuhaili, Mazhab Maliki men definisikan jua’lah, yaitu imbalan (maj’ul) yang diberikan pihak penerima manfaat (ja’il) untuk pelaksana (maj’ul lahu) atas suatu pekerjaan dalam batas waktu yang telah ditentukan ataupun ti dak. Imbalan akan diberikan setelah tugas itu rampung dikerjakan. Jika tidak selesai, tak ada konsekuensi apa pun bagi pelaksana.
Menurut Mazhab Syafi’i, ju’alah adalah imbalan atas suatu jasa tertentu yang diketahui ataupun tidak diketahui dan sulit diidentifikasikan waktu pelaksanaannya. Mazhab Hanbali mendefinisikan ju’alah untuk menyebut harta tertentu yang diperuntukkan bagi pihak yang bekerja untuk penerima manfaat atas kerjaan yang diperbolehkan dalam agama meskipun sulit diketahui, baik jumlah maupun waktunya. Transaksi ju’alah diperbolehkan menurut syariat, sebagaimana pandangan Mazhab Syafi’i, Hanbali, dan Maliki.
Namun, sebagian ulama di kalangan Mazhab Maliki menyebut diperbolehkannya ju’alah atas dasar rukhsah, atau dispensasi dengan merujuk analogi pada sejumlah dalil antara lain surah Yusuf ayat ke-72. Penyeru-penyeru itu berkata, "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan mem peroleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya".
Seiring perkembangannya, sebagaimana dikutip dari Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), salah satu bentuk pelayanan jasa, baik dalam sektor keuangan, bisnis, maupun sektor lainnya, yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah pelayanan jasa yang pembayaran imbalannya (reward/iwadh/ju’l) bergantung pada pencapaian yang telah ditentukan. Lantas apa hukum transaksi tersebut?
Akad ju’alah, berdasarkan keputusan fatwa DSN-MUI, boleh dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan jasa. Dinukil dari kitab Al-Majmu’ Syarah al- Muhadzab, Imam an-Nawawi berpendapat boleh melakukan akad ju’alah, yaitu komitmen untuk memberikan imbalan tertentu atas pekerjaan tertentu atau tidak tertentu yang sulit diketahui.
Pendapat yang sama juga dikutip dari Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al- Mughni. Menurut pakar fikih bermazhab Hanbali itu, kebutuhan masyarakat mendorong agar akad ju’alah untuk keperluan seperti itu dibolehkan sekalipun (bentuk dan masa pelaksanaan) pekerjaan tersebut tidak jelas.
Akan tetapi, keputusan yang dikeluarkan oleh DSN-MUI menggarisbawahi, diperbolehkannya ju’alah tersebut dengan beberapa ketentuan akad, yaitu pertama, pihak ja’il harus memiliki kecakapan hukum dan kewenangan (muthlaq attasharruf) untuk melakukan akad. Kedua, objek ju’alah harus berupa pekerjaan yang tidak dilarang oleh syariah, serta tidak menimbulkan akibat yang dilarang.
Ketiga, hasil pekerjaan sebagaimana dimaksud harus jelas dan diketahui oleh para pihak pada saat penawaran. Keempat, imbalan ju’alah harus ditentukan besarannya oleh pihak ja’il dan diketahui oleh para pihak pada saat penawaran dan kelima, tidak boleh ada syarat imbalan diberikan di muka (sebelum pelaksanaan objek ju’alah).
Selain ketentuan akad, terdapat pula ketentuan hukum yang harus diperhatikan dalam praktik ju’alah, yaitu pertama, imbalan hanya berhak diterima oleh pihak pelaksana apabila hasil dari pekerjaan tersebut terpenuhi. Kedua, pihak ja’il harus memenuhi imbalan yang diperjanjikannya bila pihak pelaksana telah menyelesaikan pekerjaan yang ditawarkan.
Pembatalan akad
Merujuk kembali Kitab Syekh Wahbah az-Zuhaili, akad transaksi ju’alah tidak bersifat lazim bagi kedua belah pihak sebelum pihak pelaksana menyelesaikan tawaran pekerjaan. Dengan demikian, baik penerima manfaat maupun pelaksana diperbolehkan memperbaiki dan mengubah akad selama tugas atau pekerjaan belum terlaksana secara penuh. Perubahan ini tidak memberikan dampak dan kompensasi apa pun.
Pendapat di atas banyak dianut oleh para ulama di Mazhab Syafi’i, Hanbali, dan merupakan pendapat kuat di Mazhab Maliki. Sedangkan sebagian ulama Maliki berpandangan, status akad jua’lah bersifat lazim bagi kedua belah pihak dan tak bisa dibatalkan, sekalipun sebelum pekerjaan yang ditawarkan rampung. Status hukum jualah, menurut mereka, sama dengan berlakunya akad sewa-menyewa (ijarah).