Selasa 11 Oct 2016 13:47 WIB

Apakah Zakat dan Pajak itu Sama?

Rep: Irwan Kelana/ Red: Agung Sasongko
Ilustrasi Zakat dikelola Pemerintah.
Foto: Republika/Da'an Yahya
Ilustrasi Zakat dikelola Pemerintah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar ekonomi syariah Prof KH Didin Hafidhuddin MS mengaku sering ditanya terkait persamaan dan perbedaan antara zakat dan pajak. Apakah zakat dan pajak itu sama? Apakah orang yang sudah membayar pajak masih perlu membayar zakat?

"Untuk menjawab persamaan dan perbedaan antara zakat dan pajak bisa ditelusuri dari empat hal, yakni status kewajibannya, aspek objeknya, rate-nya dan tujuannya," kata Didin saat mengisi pengajian guru dan karyawan Sekolah Bosowa Bina Insani di Masjid al-Ikhlas Bosowa Bina Insani, Bogor, Jawa Barat, belum lama ini.

Mantan ketua umum Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) itu menjelaskan, dilihat dari status kewajibannya, zakat merupakan kewajiban syar'i dari Allah  bagi umat Islam. "Aturan berzakat berlaku abadi, dan ditentukan oleh Allah, bukan diciptakan oleh manusia. Zakat merupakan indikator keimanan. Sedangkan pajak merupakan kewajiban yang berdasarkan kebijakan pemerintah," ujar Kiai Didin.

Kedua, kata guru besar Institut Pertanian Bogor itu, ditinjau dari aspek objeknya, yakni zakat diambil dari pendapatan usaha yang bersih (halal). "Hal itu untuk mendorong  umat Islam agar mempunyai pendapatan yang halal dan bersih (tayib). Karena itu, gerakan zakat adalah gerakan mendapatkan harta yang halal dan bersih," tutur Didin.

Sedangkan pajak, kata Didin, mencakup semua objek, baik pendapatan harta yang halal dan bersih, maupun harta yang didapat dari usaha yang syubhat atau haram. Misalnya, minuman keras, rokok, dan prostitusi. "Pendek kata, pajak itu meliputi berbagai macam objek. Harta yang bersih maupun kotor, semua dipajaki," ujar Didin yang juga direktur Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun Bogor.

Aspek ketiga, kata Didin, rate atau angkanya. "Zakat  itu rate-nya rendah sekali. Zakat penghasilan hanya 2,5 persen, pertanian hanya 5-10 persen, kecuali harta mendadak atau temuan  (rikaz) yang mencapai 20 persen," kata pakar dan praktisi zakat yang aktif menulis buku tentang zakat, ekonomi syariah, dan ibadah itu.

Hal itu berbeda dengan pajak yang rate-nya cenderung tinggi. "Pajak itu rate-nya 20, 30, atau  40 persen. Ada pula pajak progresif, misalnya pembelian kendaraan yang kedua untuk nama yang sama, maka pajaknya lebih mahal," kata Didin.

Aspek keempat, kata Didin, tujuannya. "Zakat bertujuan untuk pembangunan sarana dan prasarana yang baik, terutama yang menyangkut kepentingan umat Islam. Sedangkan dana pajak bisa digunakan untuk bermacam-macam hal," tuturnya.

Berdasarkan empat persamaan dan perbedaan di atas, kata Didin, zakat jauh lebih utama atau lebih maslahat untuk didukung oleh pemerintah. "Sejarah membuktikan, pada masa kejayaan Islam dahulu, masyarakat hidup makmur ketika zakat dikelola dengan baik oleh pemerintah," ujar Didin.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, juga melihat kelebihan zakat dibandingkan pajak. Menurutnya, kelebihan zakat ada pada transparansi dan akuntabilitasnya.

Saat ini, ia melihat, orang Indonesia semakin berat mengeluarkan uang untuk pajak, tapi sangat mudah saat berzakat. "Kuncinya transparansi dan akuntabilitas, kalau pajak bisa dua itu (transparan dan akuntabel), maka meningkatkan kepatuhan tidak perlu tax amnesty," ujar dia.

Ia menilai, apa yang dikerjakan lembaga-lembaga zakat atas dana yang diperoleh selama ini terbilang konkret, serta dapat dilihat kejelasannya dengan mudah. Sedangkan, konsep ekonomi yang dilakukan pemerintah lewat pajak seperti kontraproduktif, mengingat semakin bertambah dana yang masuk justru memperbanyak jumlah orang miskin.

Menurut Enny, pemerintah harus belajar mengemban amanah dari rakyat, setidaknya dengan mulai membangun sistem yang baik dan mengarah ke tujuan. Ia menilai, selama ini sistem yang ada tergolong rumit dan tidak jelas.

Menurut dia, masyarakat yang mendapatkan kejelasan tentu akan mudah membayar pajak dengan sendirinya, seperti mereka dengan senang hati mengeluarkan uang untuk zakat.

"Seorang petani yang tidak menanam jagung bukan tidak bisa menanam jagung, mereka cuma merasa tidak bisa diuntungkan dengan menanam jagung."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement