REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia mendukung penuh perluasan makna perzinaan, perkosaan, dan percabulan yang ada dalam pasal 284, 285 dan 292 KUHP. MUI pun meminta agar Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan para pemohon dan menyatakan tiga pasal dalam KUHP tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum.
"MUI sebagai pihak terkait sepaham dengan permohonan para pemohon, yang menyatakan ketiga pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum," kata Anggota Komisi Fatwa MUI, Mursyidah Thahir dalam sidang uji materi pasal KUHP di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (4/10).
Mursyidah mengatakan, MUI berpandangan terdapat kelemahan dari norma yang diatur dalam pasal 284 KUHP soal perzinahan. Pasalnya, norma hukum pidana yang mengancam perbuatan zina hanya berlaku bagi mereka yang terikat dalam perkawinan.
Sementara, pria dan perempuan yang diluar dari perkawinan melakukan perbuatan zina tidak diancam hukuman sanksi pidana. Padahal, perbuatan yang dilakukan sama-sama merusak sendi-sendi moralitas masyarakat Indonesia.
"Hal itu menunjukkan kelemahan atas norma hukum tersebut dikarenakan jenis dan indikator perbuatan sama, tapi sanksinya berbeda, maka perlu perluasan pada pasal 284 KUHP agar sejalan dengan asas Ketuhanan yang Maha Esa," kata Mursyidah.
MUI, menurut Mursyidah, meminta agar pengertian perbuatan zina harus dikembalikan dengan pengertian dasar yaitu senggama antara pria dan wanita diluar nikah. Sehingga, perbuatan zina juga berlaku bagi mereka yang melakukan zina, baik yang satunya terikat perkawinan ataupun belum atau tidak pernikahan.
Apalagi, perbuatan zina sudah jelas mengancam kehidupan masyarakat dan merendahkan martabat kemanusian. Zina tidak hanya berpotensi mengacaukan garis keturunan atau nasab tetapi juga penyebaran penyakit yang disebabkan oleh kebiasan seks bebas.
Sehingga MUI menilai, tanpa perubahan makna pembinaan yang tercantum dalam KUHP tersebut berarti negara membiarkan praktek hubungan bebas di luar perkawinan yang sah. "Yang sudah terbukti banyak menimbulkan kemudaratan, tidak hanya bagi keutuhan keluarga melainkan merosotnya ahkhak dan moral bangsa. Serta munculnya berbagai perilaku sosial dan penyakit masyarakat yang disebbakan karna merajalelanya perbuatan zina," ujar Mursyidah.
Selain itu, MUI juga meminta Mahkamah Konstitusi (MK) mempertimbangkan hukum islam sebagai landasan untuk memutus perkara uji materi Pasal 284 KUHP soal perzinaan. Sebagaimana selaras dengan UUD 1945 yang Berketuhanan Yang Maha Esa, hukum dalam islam pada dasarnya sama dengan yang dikehendaki oleh hukum di KUHP yakni mengatur kebebasan pribadi dalam melakukan hubungan seksual hanya boleh dilakukan oleh suami istri dalam ikatan perkawinan yang sah.
"Karenanya, MUI memohon agar MK mempertimbangkan hukum islam sebagai landasan untuk memperluas pengertian zina sebagaimana diuraikan diatas sesuai dengan asas Ketuhanan Yang Maha Esa, yang tercantum dalam pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia," kata dia.
Adapun Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini kembali menggelar sidang pengujian Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana terkait tiga pasal yakni pasal 284, 285 dan 292 KUHP dengan agenda mendengarkan keterangan pihak terkait dari DPP Majelis Ulama Indonesia (MUI). Selain itu juga, pada hari ini, sidang juga diagendakan mendengarkan keterangan dari ahli dari Komnas Perempuan sebagai pihak terkait.