Jumat 12 Aug 2016 19:26 WIB

Menyoal Dana Talangan Bank

Rep: Hafidz Muftisany/ Red: Agung Sasongko
Haji
Foto:
Daftar Haji

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) pernah mengeluarkan fatwa soal penggunaan dana talangan oleh lembaga keuangan. Namun, DSN MUI membatasi fatwa tersebut hanya pada Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Artinya, lingkup fatwanya hanya diperuntukkan bagi LKS yang bebas praktik riba.

Dalam fatwanya, secara umum LKS bisa melakukan talangan pembayaran ibadah haji dengan beberapa akad khusus. Pertama, akad yang dilakukan menggunakan prinsip al-Qardh. Prinsip al-Qardh sejatinya adalah utang atau pinjaman kepada nasabah (muqtaridh).

Nasabah juga wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima, pada waktu yang telah disepakati. Artinya, nasabah memiliki kemampuan untuk mengembalikan pinjaman.

Dalam praktik al-Qardh, nasabah bisa dibebankan biaya administrasi dan menyerahkan jaminan kepada LKS jika memang diperlukan. Nasabah pun bisa memberikan sumbangan dengan sukarela kepada LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad.

Selain menggunakan al-Qardh, dana talangan haji oleh LKS juga bisa menggunakan prinsip al-ijarah. Yakni, LKS memperoleh imbalan jasa (ujrah). Akad ijarah memungkinkan pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu, dengan pembayaran sewa tanpa diikuti pemindahan kepemilikan.

Imbalan jasa yang ditarik oleh LKS dalam talangan haji juga harus memiliki ketentuan. Yang utama adalah besar imbalan jasa tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan al-Qardh yang diberikan LKS. Jadi, misal LKS menetapkan jasa sebesar 10 persen dari jumlah pinjaman, hal ini yang dilarang. Jasa pengurusan haji yang dilakukan LKS juga tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian talangan haji.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement