REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peristiwa Isra Miraj mengajarkan manusia tentang mendudukkan keimanan dalam memandang setiap permasalahan. Keteguhan iman digambarkan dari keyakinan akan peristiwa-peristiwa di luar akal sehat manusia sebagai bukti kebesaran Allah SWT dalam peristiwa tersebut.
Guru Besar Akidah dan Filsafat Universitas Darussalam (Unida) Gontor, Prof Dr KH Amal Fathullah Zarkasyi, mengatakan ada perbedaan pendapat dalam melihat peristiwa Isra Miraj Nabi Muhammad SAW.
Ada pendapat yang mengatakan peristiwa Isra dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa merupakan peristiwa jasadian dan ruhian, sementara kejadian miraj bersifat ruhiah.
"Itu kan terus pembahasannya tentang materialisme dan nonmaterialisme," ujar Kiai Fathullah ketika dihubungi Republika, Rabu (27/4).
Keberadaan hal-hal di luar akal sehat manusia, bagi Kiai Fathullah, bersifat suprarasional. Artinya, dalam beragama, diperlukan kesadaran akan adanya hal-hal di luar kemampuan akal manusia. Di situlah kuasa Allah SWT.
Walaupun begitu, hal itu tidak selalu bersifat irrasional. Peristiwa Isra misalnya, merupakan hal yang sulit dimengerti oleh akal sehat manusia. Dalam kondisi tertidur, Rasulullah dikisahkan telah melakukan perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa.
Akal manusia sangat wajar mempertanyakan kebenaran peristiwa tersebut. Maka, Rasulullah menerangkan peristiwa yang ia alami tersebut. "Berapa tiang yang ada di Masjidil Aqsa, Nabi bisa jawab. Padahal Nabi belum pernah ke sana," ujar Kiai Fathullah.