REPUBLIKA.CO.ID, Dikutip dari Harian Republika, pakar tafsir Alquran Prof Quraish Shihab mengungkapkan, tato telah dikenal sejak zaman Rasulullah SAW. Sekian banyak hadis yang melarang hal tersebut bahkan larangannya sedemikian keras sampai-sampai Nabi SAW mengutuk pelakunya.
Ancaman dan kutukan itu menjadi bahan diskusi di kalangan ulama. Ulama serta pakar tafsir dan hadis kenamaan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha menilai, hal tersebut disebabkan karena ketika itu tato-tato tersebut berupa gambar-gambar yang mengandung lambang mempersekutukan Allah SWT. Namun demikian ini bukan berarti bahwa tato yang tidak mengandung makna persekutuan Allah atau dosa dan kedurhakaan dapat ditoleransi. Memang nilai dosanya lebih rendah.
Di sisi lain perlu dicatat bahwa tato yang menghalangi tersentuhnya air wudhu atau air mandi junub apapun gambar atau tulisan pada tato itu sangatlah terlarang. Demikian juga dengan kutek bila ia menghalanginya. Tetapi jika tidak menghalangi sentuhan air pada bagian yang harus dikenai air --dalam berwudhu atau mandi junub-- maka kutek/pacar boleh-boleh saja. Pacar atau kutek secara mutlak diperbolehkan bahkan dapat dinilai baik bagi wanita yang sedang mendapat uzur untuk tidak shalat. Memang Rasul SAW menganjurkan wanita untuk memperindah kuku mereka dengan pacar.
Satu ketika ada yang mengulurkan sesuatu kepada Nabi SAW di belakang tabir, beliau bertanya apakah ini tangan wanita atau pria. Istri beliau Aisyah Ra menjawab bahwa itu adalah tangan wanita. Ketika itulah beliau bersabda: Tidakkah baiknya dia memakai pacar untuk memperindah kukunya?
Syekh Ahmad Hasan Al-Baqury mantan Menteri Waqaf Mesir dapat mentoleransi kutek, walau menghalangi air wudhu dan mandi dengan alasan bahwa sementara madzhab tidak mengharuskan menggerakkan cincin yang sempit dijari seseorang yang sedang berwudhu. Ulama itu mempersamakan kutek dengan cincin dalam arti keduanya adalah hiasan. Tapi pendapatnya tidak didukung oleh ulama.
Tato hendaknya dihapus/dihilangkan, tetapi jika upaya menghilangkannya akan dapat mengakibatkan cacat, maka upaya tersebut tidak perlu dilakukan, cukup beristigfar dan memohon ampun Ilahi sambil menyesali perbuatan itu dan bertekad tidak mengulanginya. Demikian Wa Allah A'lam.