Rabu 27 Jan 2016 05:20 WIB

Kätlin Hommik-Mrabte: Islam Mendidik Kita Menjadi Lebih Baik

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Agung Sasongko
Mualaf (ilustrasi)
Foto: Wordpress.com
Tauhid adalah mengesakan Allah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Memasuki usia SD, Kätlin mendapat bimbingan agama Kristen dari neneknya. Berbeda dengan ayahnya yang ateis, sang nenek justru sangat taat menjalankan ajaran agama. Dari perempuan itulah, Kätlin mengenal konsep-konsep ketuhanan dalam Kristen.

Pada 1991, Estonia memperoleh kemerdekaan menyusul runtuhnya Uni Soviet. Sejak itu, orang-orang Estonia kembali memperoleh kebebasannya untuk menjalankan agama. Berbagai aktivitas keagamaan pun mulai tumbuh berkembang di negeri itu. Termasuk kebaktian di gereja, sekolah Minggu, dan sejumlah kegiatan lainnya.

Kätlin yang ketika itu masih berusia 11 tahun, akhirnya memutuskan untuk mengikuti sekolah Minggu, yakni kelas khusus bagi anak-anak untuk belajar agama Kristen. Akan tetapi, ia tidak bertahan lama di sekolah itu. “Guru-guru di sana mengusirku dari kelas. Mereka bilang, aku ini terlalu banyak bertanya,” ucap Kätlin.

Bagi Kätlin, keputusan guru-gurunya mengeluarkannya dari sekolah Minggu itu sangatlah tidak masuk akal. Padahal, ketika itu ia hanya ingin mengetahui alasan teologis yang mendasari ketuhanan Yesus Kristus.

“Jika Yesus disebut anak tuhan karena lahir tanpa ayah, mengapa Adam yang tidak memiliki ayah dan ibu tidak bisa dianggap tuhan? Mereka (guru-guru di sekolah Minggu—Red) marah mendengar pertanyaanku tersebut. Mereka bilang, aku ini kurang beriman,” tutur Kätlin lagi.

Ketika usianya menginjak 15 tahun, Kätlin mencoba mempelajari lebih banyak lagi tentang Kristen. Namun pada akhirnya ia menyadari bahwa begitu banyak ajaran agama tersebut yang tidak bisa diterima oleh akal sehatnya. “Pada akhirnya, aku harus mencari sesuatu yang lain di luar Kristen,” imbuhnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement