REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berbicara tentang Islam, Kätlin Hommik-Mrabte kembali teringat akan kejadian singkat yang pernah dialaminya ketika masih berumur tiga tahun. Pada waktu itu, Kätlin kecil bertanya kepada ayahnya, apa yang bakal dihadapi manusia setelah kematian?
“Ayahku begitu kagum mendengar pertanyaan seperti itu bisa muncul dari pikiran anaknya yang masih kecil. Namun sayang, ia tidak mampu menjawab pertanyaanku ketika itu,” tutur Kätlin membuka kisah petualangan rohaninya.
Di negeri asalnya, Estonia, agama dan keyakinan dianggap sebagai hal yang tabu. Apalagi selama berada di bawah rezim komunis Soviet, tidak seorang pun diperbolehkan membicarakan topik yang berbau agama. Segala bentuk aktivitas keagamaan benar-benar dilarang pada masa itu. Menurut kebanyakan orang di negaranya, hanya orang gila yang percaya kepada Tuhan.
“Kosmonot Soviet telah menjelajahi ruang angkasa, dan mereka sama sekali tidak melihat keberadaan Tuhan di langit. Karenanya, kamu hanya akan terbaring di tanah setelah mati,” begitulah jawaban yang diperoleh Kätlin dari ayahnya pada waktu itu.
Namun, jawaban semacam itu tak pernah membuat Kätlin merasa puas. Misteri seputar kehidupan dan keberadaan Tuhan terus saja mengganjal di dalam benaknya hingga dewasa. Hal itu pada akhirnya mendorong perempuan itu untuk mencari kebenaran dengan caranya sendiri.
“Sejak kecil aku selalu yakin bahwa Tuhan itu ada. Hanya, aku tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk menyebut nama-Nya,” ujar Kätlin.