Selasa 12 Jan 2016 09:51 WIB

Melahirkan dengan Dokter Laki-Laki, Bolehkah?

Ibu yang baru melahirkan anak kembar.
Foto:
Suami menemani istri melahirkan/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jika seorang perempuan akan menjalani persalinan dengan dokter laki-laki, ia wajib didampingi agar keduanya tidak berkhalwat. Jika melahirkan dengan dokter perempuan, pendampingan hanya bersifat anjuran, tapi tidak wajib secara syariat.

Jika memang proses persalinan harus ditangani dokter laki-laki, dokter tersebut haruslah amanah dan menjaga adab kesopanan.

Ia hanya diperbolehkan menangani apa yang menjadi "wilayah" kerjanya. Haram baginya untuk melihat atau menyentuh anggota tubuh lain yang tidak diperlukan. Di sinilah perlunya pendampingan dari suami atau keluarga pasien.

Para ulama menyebutkan, jika problem penanganan persalinan ini diluaskan, banyak aspek lainnya yang juga terkena imbas hukum syar'i. Misalnya, bagi dokter Muslimah spesialis obstetri ginekologi. Haram baginya menolak pasien perempuan jika diketahui persalinan tersebut pada akhirnya akan ditangani dokter laki-laki.

Demikian juga, menjadi fardhu kifayah hukumnya bagi kaum perempuan di suatu daerah untuk belajar obstetri ginekologi, jika di daerah tersebut tidak ada dokter bersalin perempuan.

Menjadi dosa bagi pemerintah dan seluruh penduduk setempat jika terjadi pembiaran persalinan yang ditangani kaum laki-laki tanpa ada solusi atau upaya pencegahan.

Lantas, bagaimana jika sebatas pemeriksaan kehamilan saja? Pada dasarnya, urutan kebolehan secara syariat sama dengan urutan siapa saja yang boleh menangani proses persalinan. Pemeriksaan persalinan juga boleh dilakukan dengan dokter laki-laki dengan memperhatikan persyaratan-persyaratan yang diberikan para ulama.

Pemeriksaan kehamilan dengan dokter laki-laki perlu lebih diperinci. Apakah dengan tujuan pengobatan, ada kekhawatiran akan kondisi janin, untuk mengetahui kondisi janin, atau sekadar pengecekan. Hal ini memengaruhi tingkat darurat yang akan menghalalkan apa yang sebelumnya diharamkan syariat.

Al-Khathib asy-Syarbini dalam Mughni al-Muhtaj mengatakan, melihat dan menyentuh perempuan dibolehkan ketika melakukan hijamah dan pengobatan, bahkan melihat kemaluan sekalipun, jika ada keperluan untuk itu. Karena, jika tidak dibolehkan, ketika itu justru akan menyulitkan (haraj).

 

Tetapi, janganlah dokter atau pasien berlebih-lebihan atau menggampang-gampangkan batasan syariat. Firman Allah SWT, "Tetapi, barang siapa terpaksa, bukan karena menginginkannya tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS al-Baqarah [2]: 173). Allahu a'lam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement