Ahad 08 Nov 2015 15:56 WIB

Jejak Pendirian Gereja di Jawa

Rep: muhammad subarkah/ Red: Muhammad Subarkah
Kraton Yogyakarta.

Geliat penyebaran agama Kristen dan pertumbuhan gereja di Jawa makin semarak karena mereka didukung oleh kelonggaran atau bahkan fasilitas politik. Bersamaan dengan itu, yakni berakhirnya ‘Perang  Jawa,’ kemudian muncul kebijakan dari pemerintah Belanda agar para bangsawan kerajaan dipisahkan kesehariannya dari kehidupan kaum pesantren. Tujuannya untuk memutus sekaigus mencegah aksi perlawanan kaum bangsawan kepada penguasa kolonial. Ini karena pesantren bagi pemerintah Belanda disebut sebagai basis perlawanan terhadapnya

Bila dulu para bangsawan kawin-mawin dengan putra-putri kiai di pesantren, saat itu tak diperbolehkan, bahkan menjadi hal terlarang. Mereka secara halus mendorong  agar para bangsawan melakukan perkawinan antar sesama bangsawan saja.Situasi ini berbeda dengan era sebelum pecahnya ‘Perang Jawa’ di mana antara kaum bangsawan atau putra raja selalu terkait hubungan perkawinan dengan keluarga pengasuh pesantren.

Sementara itu, di kalangan orang biasa, setelah mendapat pendidikan yang diberikan para penyebar injil itu, maka anak keturunan para penganut Kristiani ini kemudian mendapat fasilitas pendidikan dan pekerjaan yang lebih bagus. Mereka mengeyam pendidikan umum yang didirkan para penyebar agama itu, dengan sekolah yang dikenal sebagai ‘Sekolah Masehi’ atau sekolah lain sejenisnya.

 Dan ketika lulus mereka kemudian menjadi ‘priyayi baru’ karena menjadi pegawai pemerintah misalnya menjadi guru dan tenaga kesehatan. Sebuah survei yang saat itu dilakukan menyatakan: Bila ada tiga orang Kristen berkumpul, maka dua orang di antara mereka mendapat fasilitas pemerintah. Ini berbeda dengan kehidupan kaum santri (Muslim) yang malah sama sekali tidak mendapat fasilitas dari pemerintah karena menerapkan sikap politik ‘uzlah’ atau nonkooeratif dengan pemerintah kolonial.

Adanya kelonggaran politik itulah, maka tidak mengherankan bila di berbagai kampung mulai muncul penganut agama Kristen. Pendirian gereja menjadi mencolok. Di sebuah kampung di pesisir selatan Kebumen misalnya, pendirian sebuah gereja malah mendului pendirian masjid.  Bahkan, selang waktu pendirian antara gereja dan masjid sampai 30 tahun meski kampung itu mayoritas penduduknya Muslim.

Kelonggaran politik ini misalnya masih teraba hingga masa Orde Baru. Misalnya, di kampung-kampung yang ada di kawasan itu hingga awal 1980-an masih terpampang papan petunjuk resmi ‘Guru Injil’ untuk menyebutkan bahwa di rumah tertentu di sekitar itu ada sesorang yang menjadi pengajar agama Kristen.  Selain itu para ‘guru injil’ bule juga kerap bersliweran. Situasi ini baru berakhir setelah penguasa Orde Baru, Suharto, memutuskan bantuan IGGI setelah marah akibat perilaku yang melecehkan rakyat yang dilakukan Menteri Kerja Sama Pembangunan Belanda J.P. Pronk.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement