Republika.co.id JAKARTA -- Menteri Negara Lukman Hakim Saifuddin bersyukur penyelenggaraan ibadah haji dapat berjalan lancar kendati terjadi dua tragedi, yaitu mobile crane di Masjidil Haram dan berdesak-desakan di Mina. Dia pun mengapresiasi seluruh pihak, baik itu Pemerintah Arab Saudi, petugas, dan jamaah haji, pada penyelenggaraan haji tahun ini.
Kendati demikian, Lukman menyatakan, evaluasi harus tetap dilakukan. Evaluasi itu untuk melihat layanan-layanan yang harus dipertahankan, ditingkatkan, dan direalisasikan. "Prinsipnya, hari ini harus lebih baik dari kemarin dan besok harus lebih baik dari hari ini," kata dia, di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta, Selasa (11/11).
Lukman pun menyebutkan tujuh hal yang harus dipertahankan pemerintah pada penyelenggaraan haji tahun depan. Pertama, kebijakan pelunasam dalam dua tahap. Sebab, cara ini dapat menyerap seluruh kuota. "Tidak ada lagi sisa kuota yang digunakan oleh yang bukan berhak. Penyelenggaraan 2015 dinilai baik dan adil sehubungan anttian jamaah," kata dia.
Pemberangkatan jamaah gelombang pertama dari tanah air menuju Madinah juga harus dipertahankan pada penyelenggaraan haji 2016. Hotel-hotel di Makkah dan Madinah yang berstandar bintang tiga. Juga, layanan katering yang hampir tanpa keluhan mendasar. "Secara umum, saya merasa katering relatif baik. Memang ada yang wanprestasi tapi akhirnya kita hentikan," kata dia.
Perbaikan fasilitas di Arafah, Mina, dan Muzdalifah juga harus dipertahankan. Di Arafah, dia menyebutkan, seluruh karpet sudah diperbaharui, tidak kumuh, dan lusuh. Jamaah juga mendapatkan fasilitas penyejuk udara melalui water coolant. "Ini sangat membantu," kata dia.
Terakhir, aplikasi haji pintar harus terus dipertahankan dan dikembangkan. Sebab, aplikasi ini banyak membantu jamaah haji. Termasuk juga keluarga dan petugas haji yang ingin mendapatkan informasi mengenai lokasi pemondokan.
Lukman juga mencatat lima hal yang perlu ditingkatkan agar kualitas haji lebih baik. Pertama, proses visa harus didahulukan agar tidak terjadi penundaan keberangkatan ke tanah suci. Bahkan, dia juga menyarankan format pembentukan kelompok terbang (kloter) dilakukan setelah proses visa selesai dilakukan. "Pemvisaan harus didahulukan," kata dia.
Kedua, perbaikan terkait transportasi lokal jamaah dari kabupaten dan kota ke embarkasi, termasuk juga dari debarkasi ke kabupaten dan kotanya. Dia berharap seluruh pemerintah daerah dapat membantu pengadaan transportasi ini sehingga jamaah tidak dibebani jamaah. Saat ini, beberapa daerah sudah menanggung biaya itu dalam APBD.
Ketiga, layanan katering selama jamaah tinggal di Makkah harus ditingkatkan. Hampir semua jamaah meminta agar tahun depan tidak hanya frekuensinya yang ditambah menjadi minimal dua kali sehari, tapi juga harinya diperpanjang selama jamaah tinggal di Makkah. Pada penyelenggaraan haji tahun ini, jamaah menerima 15 kali layanan makan.
Keempat, jumlah petugas haji harus ditambah pada penyelenggaraan tahun depan. Terakhir, perubahan struktur di Kantor Urusan Haji (KUH) Konsulat Jenderal Republik Indonesia Jeddah. "Perlu ada atase haji. Apa yang ada sekarang sangat terbatas baik jumlah personil maupun peran dan fungsinya," kata dia. Perubahan struktur ini untuk merealisasikan peningkatan layanan haji.
Dia juga mencatat beberapa hal yang perlu dikaji mendalam agar terealisasikan pada penyelenggaraan haji tahun depan seperti pembinaan jamaah haji melalui bimbingan manasik berbasis regu. "Bukan lagi berbasis kloter karena terlalu besar," kata dia.
Juga, terkait jamaah berisiko tinggi yang diberangkatkan ke tanah suci. Tahun ini, sebanyak 38 jamaah wafat di embarkasi atau sebelum terbang ke Arab Saudi dan 638 jamaah meninggal di tanah suci. "Jumlah itu memang termasuk korban crane dan Mina. Tapi, ada lebih dari 500 jamaah wafat di luar peristiwa crane dan Mina," kata dia.
Persoalan utama bukan pada banyaknya jamaah lanjut usia, namun berisiko tinggi. "Lanjut usia kalau sehat tidak masalah," kata dia. Jamaah berisiko tinggi terkait dengan kemampuan fisik ketika menjalankan ibadah di Madinah dan Makkah.
Lukman menyatakan jamaah risti sebaiknya ditunda keberangkatannya demi menjaga keselamatan jiwa. Dia pun mengaku sudah berbicara dengan beberapa tokoh di Majelis Ulama Indonesia (MUI). Mereka pun memahami usulan bahwa kemampuan jamaah haji bukan hanya terkait material namun juga fisik.
"Tinggal nanti di Kemenkes dibuat parameter yang masuk kategori risti seperti apa. Dengan demikian, jamaah haji kita meski lansia, secara fisik siap dan itu bagian dari syarat berhaji," kata Lukman.
Ketua Komisi VIII DPR RI Saleh Partaonan Daulay juga mengatakan jamaah risti ini memang menjadi persoalan paling krusial pada penyelenggaraan haji tahun ini. Secara pribadi, dia sepakat kalau ada pembahasan. Tapi, dia juga mengingatkan bahwa regulasi negeri ini tidak bisa melarang masyarakat menunaikan ibadah haji karena alasan kesehatan.
"Susah meyakinkan masyarakat nanti Menag bisa dimencak-mencak juga," kata dia.
Menurut dia, masyarakat kita juga berpandangan lebih baik meninggal di tanah suci. Karena itu, dia pun mendorong perbaikan fasilitas kesehatan selama penyelenggaraan haji. Indonesia harus minta ada klinik di Arafah. "Kita ini negara dengan jumlah jamaah terbesar seharusnya punya klinik, bukan curi-curi mendirikan klinik. Ini soal diplomasi," kata dia.
Dia juga menyarankan jumlah petugas kesehatan dan ketersediaan obat harus ditambah. Begitu pula dengan ambulance.