Rabu 30 Sep 2015 18:23 WIB

Pendapat Ulama Soal Kata Wadhribuhunna

Rep: Hanan Putra/ Red: Agung Sasongko
Ilustrasi pasangan suami istri
Foto: EPA/Robert Ghement
Ilustrasi pasangan suami istri

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Defenisi kata wadhribuhunna (dan pukullah mereka), para ulama berbeda pendapat dengan makna kata tersebut. Para ulama yang sepakat mengartikannya dengan pukulan, tidak pula serta-merta si suami boleh semena-mena memukul istri.

Mereka menyebutkan, pukulan yang dilakukan suami kepada istrinya dalam rangka menasihati ada beberapa persyaratannya. Seperti, pukulan tidak dilakukan dengan wajah, tidak boleh meninggalkan bekas lebam atau luka, tidak boleh dilakukan dengan bentakan atau cacian, hanya dilakukan dengan tangan dan tidak memakai media.

Di samping itu, tindakan memukul bagi suami adalah langkah akhir dari tahapan-tahapan yang disebutkan Alquran. Suami tidak boleh langsung memukul sebelum melakukan tahapan- tahapan sebelumnya, seperti menasihati dan memisahkannya di ranjang. Pendapat ini dipakai oleh jumhur ulama.

Jumhur ulama berpendapat, tindakan pemukulan terkadang memang bisa dilegalkan suami kepada istri. Terlebih, istri yang melakukan nusyu kategori berat, seperti perselingkuhan. Terkadang nasihat yang diberikan suami tidak mempan lagi jika hanya sebatas kata-kata saja. Apalagi, istri bisa memberontak, melawan, dan menghina suami yang mencoba menasihatinya secara lisan.

Dengan adanya pukulan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan ulama, diharapkan istri bisa sadar dan menghargai suaminya. Pukulan suami adalah pukulan kasih sayang, bukan ber tujuan untuk mengalirkan darah, mematahkan, menghancurkan, atau malah membuat si istri cacat.

Di samping pendapat jumhur, ulama-ulama lainnya yang berasal dari kaum sastrawan bahasa Arab mengatakan, kata wadhribuhunna tidak mesti diartikan memukul. Banyak firman Allah di ayat lainnya yang juga memakai arti dharaba dan tidak diartikan memukul.

Para ahli sastra bahasa Arab tersebut berpendapat, bisa jadi yang dimaksudkan dalam surat an-Nisaa\' ayat 34 tersebut adalah perkataan yang mengandung ketegasan dan nasihat. Bisa juga diartikan perkataan yang punya konsekuensi hu kum, seperti perceraian. Jadi, tidak harus dimaknai dengan memukul.

Namun, penafsiran kaum sastrawan Arab tersebut masih belum rajih (kuat) dibanding pendapat jumhur ulama. Wallahu `alam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement