Jumat 03 Jul 2015 11:54 WIB

Hal Ini Bisa Picu Konflik Keagamaan

Kerukunan umat beragama
Foto:

Kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah, misalnya, muncul di beberapa daerah. Bahkan di sejumlah daerah, banyak jemaah Ahmadiyah yang belum kembali ke kampung halaman mereka. Contohnya, jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, yang meninggalkan rumah mereka sejak tragedi kekerasan pada 6 Februari 2011. Sementara kontroversi keberadaan Gereja Kristen Indonesia Yasmin di Kota Bogor, Jawa Barat, masih buntu.

Konflik sosial yang berujung pada adanya tindakan kekerasan merupakan sebuah bukti akan adanya sejumlah permasalahan, baik dalam lingkup masyarakat maupun Negara. Dalam menyikapi fakta konflik bernuasa keagamaan di atas, negara dan masyarakat sudah berusaha melakukan tindakan-tindakan kongkrit sesuai tugas dan fungsinya masing-masing. Hal ini wajib dilakukan karena, dalam bentuk apapun gejolak yang berbuah konflik bernuansa SARA ini merupakan salah satu ancaman bagi keutuhan bangsa dan negara.

Dan negara bertanggung jawab menanggulangi sejak dini. Keluarnya Instruksi Menteri Agama No. 3 tahun 1981 tentang “Pelaksanaan Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama di Daerah Sehubungan Dengan Telah Terbentuknya Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama” adalah salah satu bentuk tindakan yang sudah dilakukan negara sejak dulu dalam mengantisipasi konflik bernuansa keagamaan.

Di dalam Imenag tersebut, selain poin pembinaan kerukunan hidup beragama merupakan bagian dari tiga prioritas Nasional dalam pembinaan tata kehidupan beragama, juga terdapat poin “Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama”.

Wadah musyawarah yang dimaksud adalah forum konsultasi dan komunikasi antar sesama pemimpin atau pemuka agama dan dengan pemerintah. Namun dalam Imenag tersebut, wadah musyawarah ini hanya berada di tingkat pusat, tidak diperlukan pembentukannya di daerah. Hal ini karena, mengatisipasi disfungsi eksistensi dan integritas majelis-majelis agama yang ada di Indonesia. Dan masih banyak sejumlah regulasi Hukum dari pemerintah yang berupaya mengantisipasi dan memecahkan konflik bernuansa agama, seperti PerPres no. 1/1965 , UU no. 7/2012 , KMA no. 473/2003 , dan InMenag no. 3/1981 .

Selain itu salah satu upaya dari masyarakat dalam mengambil tindakan terhadap konflik tersebut adalah diantaranya dengan melakukan sebuah penelitian. Terjadinya konflik yang benuansa SARA pada beberapa daerah di Indonesia, berdasarkan beberapa studi yang telah dilakukan, salah satu penyebabnya adalah akibat dari lemahnya pemahaman dan pemaknaan tentang konsep kearifan budaya. Konflik akan muncul apabila tidak ada distribusi nilai yang adil kepada masyarakat. Terdapat perbedaan ras pada masyarakat menjadi penanda awal yang secara budaya sudah dilabelkan hambatan-hambatannya, yakni prasangka rasial .

Hasil studi dari UNSFIR (United Nation Support for Indonesian Recovery) tahun 2002, di Indonesia menunjukkan bahwa konflik yang berujung pada adanya kekerasan dikelompokan ke dalam empat kategori besar, yakni kekerasan komunal, kekerasan separatis, kekerasan komunitas Negara, dan kekerasan yang terhubung pada kegiatan industri.

Dalam penelitian tersebut, kekerasan komunal (77 persen) dan separatis (22 persen) menampilkan korban tewas terbesar dan puncaknya terjadi pada fase transisi 1999-2000. Kekerasan sosial banyak terjadi di kawasan kota-kota kecil atau kabupaten, dibandingkan kota-kota besar. Pada sub kategori kekerasan komunal; etnic-religion-migration-related violance, menampilkan korban tewas 52 persen.    

Intensitas konflik bisa berubah setiap saat. Oleh karena itu pemahaman terhadap siklus konflik perlu diketahui bagi pemerhati konflik, sehingga bisa ketahui bagaimana, di mana, dan kapan harus menerapkan strategi dan pendekatan-pendekatan yang berbeda dalam pencegahan, manajemen, dan resolusi konflik .Ketiga pendekatan ini sangat strategis dan penting dilakukan, mengingat adanya sejumlah fakta-fakta mengenai konflik kekerasan yang terjadi di Indonesia, dan sudah sepatutnya menyikapi konflik dengan tanpa kekerasan (nirkekerasan).

Sejauh ini, di wilayah Indonesia tentunya pada tiap propinsi sudah berupaya mengantisipasi ataupun mengatasi konflik yang bernuansa agama. Seperti misalnya, di Aceh dengan BRA (Badan Reintegrasi Aceh) dan Komisi Klaim. Di Sumatera Utara, memiliki Pusat Kajian Konflik dan Radikalisme sebagai upaya penekanan akan bahaya paham teroris dan radikalisme. Dan beberapa propinsi lainnya pasti turut aktif terhadap konflik keagamaan dengan melibatkan beberapa unsur baik pemerintah maupun non pemerintah.

Dan tentunya pada tiap daerah di Indonesia memiliki ke khasan tersendiri dalam penyelesaian atau pencegahan konflik keagamaan. Ke khas-an ini wajar terjadi, karena pada tiap daerah memiliki komposisi etnis penduduk dan budaya yang berbeda. Dan hal ini berdampak pada aspek-aspek kehidupan sosial di tiap-tiap daerah tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement