Jumat 03 Jul 2015 11:54 WIB

Hal Ini Bisa Picu Konflik Keagamaan

Kerukunan umat beragama
Foto:

Ketika sudah terbebas dari era penjajahan, secara umum pada setiap lini dari aspek kehidupan terbuka lebar dan rasa kesatuan bangsa semakin erat, meskipun serangkaian pemberontakan terjadi (1956-1960). Tumbuhnya rasa persatuan secara umum ini menjadikan masyarakat seolah-olah euforia dengan keadaan waktu itu dan kemudian alih-alih menertibkan keadaan, lahirlah Orde Baru.

Era ini, cenderung membungkus kebebasan dengan proteksi yang berlebihan pada setiap lini kehidupan masyarakat Indonesia. Sehingga pada akhirnya, keadaan demikian mencapai titik jenuh dan melahirkan era reformasi sebagai anti klimaks dari keadaan sosial kemasyarakatan yang terjadi selama era Orde Baru.

Salah satu fakta dari anti klimaks tersebut adalah lahirnya berbagai macam media-media kontrol dari setiap tindakan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat. Misalnya, lahirnya komunitas keagamaan tertentu sebagai juru damai atau juru pengubah terhadap keadaan yang sulit dipecahkan pemerintah terhadap beberapa fakta terjadinya konflik-konflik bernuansa keagamaan  atau beberapa komunitas lain.

Lahirnya komunitas keagamaan pada era Reformasi adalah salah satu contoh akibat dari pembelengguan sistematis terhadap jaringan-jaringan masyarakat pada era Orde Baru. Selain itu bentuk komunitas lain yang tergabung dalam sebuah asosiasi yang terorganisir pun ramai bermunculan.

Setiap komunitas yang muncul pastilah memiliki sistem organisasi yang melahirkan sebuah ideologi-ideologi sesuai jalurnya. Ideologi-ideologi tersebut pastilah bersinggungan dengan ideologi dari komunitas lainnya. Keadaan demikian memerlukan proses adaptasi guna mencapai titik temu. Adaptasi ini sangat memungkinkan timbulnya gesekan-gesekan dan bisa meletup menjadi masif atau bisa saja tidak.

Fakta yang terjadi di Indonesia, gesekan-gesekan yang berbuah konflik bernuansa kekerasan pernah terjadi dan performa yang berbeda-beda.Penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah ataupun pihak terkait terhadap beberapa peristiwa-peristiwa tersebut terkesan masih lamban (kasus Ahmadiyah, Gereja Yasmin Bogor), atau bahkan tidak netral (kasus Maluku ).Dan beberapa penanganan dari peristiwa terkesan dibiarkan melarut.

Seperti misalnya yang baru terjadi pada awal tahun 2012 di bulan Februari, adanya bentrokan kelompok muka dan kelompok belakang di Pelauw, Maluku Tengah, Maluku. Pemicunya, perbedaan keyakinan, khususnya dalam menentukan hari besar agama. Enam tewas dan 400 rumah hangus dalam kekerasan itu. Pertengahan Agustus, massa jemaah Sunni menyerang kelompok Syiah di Omben, Sampang, Madura, Jawa Timur. Konflik yang dibumbui masalah keluarga itu tumbuh beberapa tahun sebelumnya, tetapi tak dituntaskan sehingga meletup kembali. Satu tewas, 6 terluka, 37 rumah terbakar, dan 235 orang terpaksa mengungsi.

Bahkan sampai saat ini, tampaknya warga belum bisa kembali ke kampung halaman mereka. Akhir tahun 2012, tepatnya November, ditutup dengan bentrokan antara warga dan kelompok pimpinan Teungku Aiyub Syakuban di Bireuen, Aceh. Warga marah atas pengajian kelompok Teungku Aiyub yang dianggap sesat. Tiga orang tewas dan 10 orang luka-luka. Selain beberapa kekerasan menonjol tadi, ada beberapa gesekan lama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement