REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah harapan masyarakat agar Rancangan Undang-undang Jaminan Produk Halal (RUU-JPH) segera rampung, terselip harapan agar hasil penggodokannya selama enam tahun itu dapat menghasilkan sistem yang transparan.
Sistem penjamin halal harus jelas memudahkan konsumen membedakan mana produk yang halal dan yang tidak. Selain itu, sistem tak boleh dikotori praktik jual beli sertifikat halal.
“Intinya jangan sampai merugikan konsumen dan produsen,” kata Pengamat Halal sekaligus Pendiri Halal Corner Aisha Maharani kepada Republika Kamis (11/9).
Untuk memperkuat posisi Undang-undang tersebut setelah disahkan nanti, menurut Aisha Maharani, harus diterapkan pula sanksi tegas bagi pelanggarnya.
Aisha menyayangkan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Ia lebih sepakat jika MUI saja yang menggarap sertifikasi halal dari mulai pendaftaran sertifikasi halal hingga penerbitan sertifikatnya.
Sebab, ungkap Aisha Maharani, MUI dirasa lebih berkompeten, teruji dan lebih dipercaya masyarakat dibandingkan dengan Kementerian Agama (Kemenag).
“Alangkah lebih baiknya kalau sertifikasi halal tetap dikeluarkan MUI, dan pemerintah berfungsi mendukung dan memperbaiki sistemnya,” kata dia.
Namun, pengesahan suatu produk halal oleh pemerintah merupakan suatu tuntutan, sebab dalam peraturan mancanegara, status halal suatu produk dilihat dari lembaga resmi pemerintah yang memang mengakui kehalalannya.
Pada akhirnya, perumusan RUU telah telanjur disepakati. Karenanya, ia pun berharap BPJPH yang nantinya menjadi pintu masuk dan keluar proses sertifikasi halal dapat menjaga kepercayaan publik dalam menjamin kehalalan suatu produk yang beredar di publik.
Lagi pula, lanjut dia, saat ini bukan waktunya memperdebatkan siapa yang menjadi eksekutor halal. Siapapun dia, Aisha mewanti-wanti agar mengedepankan prinsip transparansi, entah dalam proses terbitnya sertifikasi maupun dalam hal pendanaannya.