Oleh: Ferry Kisihandi/Nashih Nashrullah
Menurut Abul Fadl Mohsin Ebrahim, ulama yang membolehkan organ dari non-Muslim, menetapkan ketentuan.
Organ yang dibutuhkan tidak dapat diperoleh dari tubuh seorang Muslim. Ketentuan lainnya, nyawa seorang Muslim bisa melayang bila transplantasi tak segera dikerjakan.
Guna menghindari organ dari non-Muslim, para ahli fikih sepakat mendorong seorang Muslim mendonorkan organ tubuhnya untuk dicangkok ke tubuh Muslim.
Ini bisa diwakili oleh salah seorang atau beberapa Muslim, dengan demikian mereka memutuskan hal itu sebagai fardhu kifayah.
Di sisi lain, ada juga kalangan yang menentang praktik transplantasi. Mereka adalah Mufti Muhammad Syafi dari Pakistan dan Dr Abd al-Salam al-Syukri dari Mesir.
Syafi berpandangan tak bolehnya transplantasi karena tiga prinsip, yaitu kesucian hidup atau tubuh manusia, tubuh manusia adalah amanat, dan transplantasi ia yakini sebagai perbuatan memperlakukan tubuh manusia sebagai benda material.
Menurut dia, segala agresi bukan hanya nyawa tetapi juga organ tubuh adalah tindak kejahatan.
Rujukan Syafi adalah hadis riwayat Abu Daud yang menegaskan mematahkan tulang mayat seseorang adalah sama berdosa dan melanggarnya dengan mematahkan tulang orang itu saat masih hidup. “Bagaimana mungkin membedah tubuh orang lain dan mengambil organnya?” ujarnya.
Mereka yang menentang juga menyatakan Allah telah melengkapi manusia dengan segala apa yang dibutuh kannya termasuk organ tubuh. Dengan demikian, manusia tak berhak mendonorkan organ tubuhnya untuk ditransplantasikan sebab itu bukan miliknya melainkan titipan Tuhan.