Oleh: Ferry Kisihandi/Nashih Nashrullah
Kalangan yang membolehkan beralasan ada maslahat dari praktik ini.
Saling menolong. Alasan ini dijadikan pijakan bagi kalangan ulama yang mendukung transplantasi atau cangkok organ tubuh.
Namun, ada pula sebagian lainnya yang menentangnya. Kedua belah pihak sama-sama menyuguhkan serangkaian argumentasi untuk mendukung sikapnya.
Menurut guru besar Studi Islam pada Universitas Durban, Westville, Afrika Selatan, Dr Abul Fadl Mohsin Ebrahim, seseorang yang memberikan organ tubuhnya untuk ditransplantasikan pada orang lain dianggap sebagai tindakan altruisme, menolong orang lain.
Mereka yang membolehkan transplantasi mengajukan argumen bahwa Allah SWT memerintahkan umat-Nya untuk tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. Meski demikian, ada batasan yang mesti dijaga, seperti harus ada persetujuan dari pendonor organ yang akan dicangkok.
Transplantasi itu juga diyakini merupakan satu-satunya jalan penyembuhan yang dapat ditempuh. Tak ada pula bahaya yang mengancam kehidupan si donor organ dan pelaksanaan transplantasi telah terbukti berhasil pada waktu-waktu sebelumnya.
Ebrahim dalam bukunya, Fikih Kesehatan, lebih lanjut menuturkan, organ vital seperti jantung tak dapat didonorkan kepada orang lain karena bakal mengakibatkan kematian bagi pendonor. Ia mengutip pandangan cendekiawan Muslim, Syekh Jad al-Haqq.
Ketentuan ini berlaku baik si donor mengizinkan maupun tidak. Bila pendonor mengizinkan organ tubuh vitalnya itu untuk ditransplantasikan, maka dianggap sebagai langkah bunuh diri. Sebaliknya, orang yang melakukan transplantasi tanpa seizin pendonor, berarti bertindak tidak benar.