Jumat 14 Mar 2014 06:11 WIB

Bolehkah Wanita Jadi Wakil Rakyat? (Bagian-2, habis)

 Anggota parlemen Nurcan Dalbudak (berdiri) dan Sevde Beyazit Kacar (duduk) menghadiri sidang umum Parlemen Turki mengenakan jilbab mereka di Ankara, Kamis (31/10).     (Reuters / Umit Bektas)
Anggota parlemen Nurcan Dalbudak (berdiri) dan Sevde Beyazit Kacar (duduk) menghadiri sidang umum Parlemen Turki mengenakan jilbab mereka di Ankara, Kamis (31/10). (Reuters / Umit Bektas)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hafidz Muftisany

Wanita adalah makhluk mukalaf seperti laki-laki.

Namun, meskipun membolehkan, Syekh Qaradhawi memberikan beberapa tuntunan. Dalam parlemen, tidak berarti seorang wanita bebas bergaul dengan laki-laki lain tanpa batas. Mereka juga tidak boleh mengabaikan suami dan anak-anak.

Selain itu, wanita yang akan terjun ke parlemen juga mesti menjaga adab Islam dalam berpakaian, berbicara, dan berjalan. Sehingga, terjauh dari fitnah-fitnah.

Nahdlatul Ulama (NU) dalam forum Bahtsul Masail yang disepakati pada Konferensi Besar Syuriah NU di Surabaya pada 19 Maret 1957 membolehkan wanita terjun ke parlemen.

Alasannya, parlemen adalah badan yang menentukan hukum (tsubutu amrin li amrin) bukan untuk menentukan qadha (lizamil hukmi). Tapi, ada beberapa syarat jika wanita masuk ke parlemen.

Di antaranya, afifah (bisa menjaga kehormatan), ahli dalam hal tersebut, menutup aurat, mendapat izin dari yang berhak memberi izin, aman dari fitnah, tidak menjadikan sebab timbulnya munkar.

Pada Muktamar XVII Muhammadiyah di Pancongan, Pekalongan, Jawa Tengah, 1972 juga diputuskan wanita boleh menjadi anggota parlemen.

Alasannya, hampir seluruh ajaran Islam tentang muamalat mengandung unsur-unsur politis dan ideologis. Muhammadiyah membolehkan kaum perempuan untuk menjadi anggota parlemen.

Muhammadiyah juga mensyaratkan seorang wanita harus ada pembimbing politis dari setiap situasi yang dihadapi, terutama yang menyangkut masalah kewanitaan agar setiap wanita Islam memiliki kesadaran politik. Kemudian, wajib dipersiapkan kader-kader politik wanita Islam.

Lembaga Fatwa Kerajaan Arab Saudi menilai, jika masuknya wanita di parlemen dimaksudkan untuk berdakwah maka tidak boleh.

Seorang perempuan bisa berdakwah di dalam rumahnya kepada keluarga, suami, dan mahramnya, baik laki-laki maupun perempuan.

Dia juga memiliki ruang dakwah di luar rumahnya kepada kaum perempuan selama dakwah tersebut tidak mengharuskannya bepergian tanpa suami atau mahramnya, tidak khawatir terjadi fitnah, seizin sang suami bila dia telah bersuami, sangat dibutuhkan, dan dakwah yang dia lakukan tidak boleh menyebabkan terbengkalainya kewajibannya untuk memenuhi hak-hak keluarganya.

Lembaga tersebut juga menanyakan efektivitas dakwah wanita di parlemen. Apakah mereka membantu memperkuat Islam? Apakah mereka membantu mempersatukan umat?

Lembaga Fatwa Kerajaan Arab Saudi menilai, masuknya wanita ke parlemen justru adalah konspirasi musuh Islam terhadap umat. Lembaga tersebut juga mengingatkan tentang fitnah dunia yang paling berbahaya adalah wanita.

Ulama terkemuda asal Arab Saudi, Syekh Nashiruddin al-Albani, dalam Majmu'ah Fatawa al-Madina al-Munawarah secara umum menilai, perjuangan di parlemen tidak ada manfaatnya. Selama negara tersebut tidak berhukum dengan hukum Allah.

Adapun mereka yang ridha masuk parlemen, ujar Syekh al-Albani, yang tidak berdasarkan hukum Allah dan menganggap masuk parlemen tujuannya untuk mencegah kejelekan maka orang-orang seperti ini tidak boleh langsung dikafirkan.

Bahkan, ia mungkin mendapat pahala. Akan tetapi, masuknya mereka ke parlemen dinilai tidak akan meluruskan peyimpangan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement