Kamis 13 Mar 2014 05:27 WIB

Bolehkah Merujuk Hadis Lemah? (Bagian-2, habis)

Hadist (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Hadist (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nashih Nashrullah

Hadis lemah boleh dirujuk sesuai syarat dan ketentuan.

Sedangkan, di kalangan para ahli fikih, mereka bermufakat, hadis dhaif juga bisa dianggap sebagai rujukan berdalil selama tidak bersinggungan dengan halal dan haram.

Di mazhab Hanafi, seperti penegasan al-Kamal bin al-Hammam dalam Fath al-Qadir. Hadis dhaif dan bukan yang palsu (maudhu') berlaku untuk keutamaan amal.

Sedangkan, di mazhab Maliki, as-Shawi melalui Hasyiyah 'ala as-Syarh as-Shaghir menegaskan, soal keutamaan amal dan adab, berdasarkan metode mazhab yang dicetuskan Imam Malik, tidak hanya mengacu pada hadis-hadis yang shahih, tetapi juga merujuk pada hadis lemah dan pernyataan generasi salaf.

Demikian pula menurut mazhab Syafi'i. Dalam mukadimah kitab al-Majmu', Imam an-Nawawi mengatakan, ada tiga klasifikasi hadis dari kualitas jejaring periwayatan (sanad) dan redaksionalnya (matan) yakni shahih, hasan, dan lemah.

Kedua kategori hadis yang awal boleh dirujuk terkait hukum dan akidah. Sedangkan, kategori yang terakhir, yakni lemah, tidak boleh dipakai menyoal hukum dan akidah. Tetapi, boleh digunakan menyangkut keutamaan amal ataupun kisah.

Menurut mazhab Hanbali juga demikian. Ibnu Muflih dalam kitab al Adab menegaskan fakta, Ahmad bin Hanbali, seperti halnya mayoritas ulama, menoleransi hadis-hadis lemah selama berkaitan dengan keutamaan amal. Bukan halal dan haram ataupun akidah.

Namun, riwayat lain dari Ahmad bin Hanbal menyatakan, hadis lemah itu tidak boleh digunakan, baik terkait keutamaan amal ataupun amalan sunah (mustahabbat). Sebab itu, penggagas mazhab Hanbali itu berpendapat shalat tasbih tidak disunahkan karena lemahnya hadis yang dijadikan rujukan.

 

Sikap Ibnu Taimiyah

Benarkah Ibnu Taimiyah menolak hadis lemah sama sekali? Syekh al-Yafi'i menjelaskan, Ibnu Taimiyah di berbagai kesempatan menyatakan, hadis lemah tetap bisa dijadikan sebagai rujukan berdalil sesuai dengan ketentuan dan syarat-syaratnya, seperti tidak bertentangan dengan kaidah yang lebih kuat.

Pernyataan ini seperti ternukilkan dari Majmu' al-Fatawa, kumpulan fatwa-fatwa tokoh yang bergelar Syaikh al-Islam itu. Menurut dia, periwayatan hadis-hadis lemah dan menjadikannya sebagai rujukan boleh-boleh saja selama dalam nasihat berbuat baik dan meninggalkan larangan, bukan soal hukum.

Meyakini ancaman atau sanksi di balik maksiat tertentu meskipun hadis itu lemah, misalnya, memotivasi diri untuk meninggalkan suatu larangan. Sekalipun ternyata tidak valid, minimal dia selamat dari ancaman tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement