Kamis 13 Mar 2014 05:18 WIB

Bolehkah Merujuk Hadis Lemah? (Bagian-1)

Hadist (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Hadist (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nashih Nashrullah

Hadis lemah boleh dirujuk sesuai syarat dan ketentuan.

 

 

Boleh tidaknya merujuk hadis lemah (dhaif) sebagai pijakan aktivitas ataupun hukum memang persoalan klise, terlewat klasik bahkan.

Tapi, perbicangan terkait topik ini tak kunjung pudar, hingga terkesan terus berputar-putar. Perdebatannya pun kembali muncul ke permukaan belakangan ini. Lalu, bolehkah memakai hadis-hadis lemah tersebut sebagai pijakan berhukum?

Sebuah kajian cukup komprehensif dilakukan Abd al-Fattah bin Shalih Qadis al-Yafi'i melalui karyanya yang berjudul Hukm al-'Amal bi al-Hadits ad-Dha'if 'Inda al-Muhadditsin wa al-Fuqaha'.

Menurut dia, setidaknya ada tiga kutub pendapat yang berbeda menyikapi masalah ini, yaitu pertama boleh berdalil dengan hadis dhaif dengan syarat dan ketentuan berlaku. Kedua, tidak boleh sama sekali. Ketiga, boleh secara mutlak.

Al-Yafi'i menguraikan, mayoritas ulama baik dari kalangan ahli hadis ataupun para pakar fikih bersepakat, hadis lemah itu boleh dipakai landasan terkait keutamaan ibadah fadhail al-A'mal, bukan sebagai pijakan menentukan halal dan haram ataupun menyangkut akidah.

Kesepakatan ini seperti dinukilkan beberapa pakar hadis lewat karya-karya mereka seperti  Imam an-Nawawi, al-Iraqi, Ibnu Sayyid an-Nas, as-Suyuthi, dan as-Sakhawi. Hadis lemah ini, kata al-Laknawi, dalam Syarh Mukhtashar al-Jurjani juga tak dipersoalkan Imam Ahmad bin Hanbal.

Bahkan, pencetus Mazhab Hanbali itu menyatakan, jika terkait hukum maka kriteria hadis akan diperketat, sedangkan bila tentang keutamaan amal, penilaian hadis itu akan dilonggarkan selama tidak menyangkut hukum. "Jika hadis-hadis keutamaan kita akan perlonggar," kata dia.

Sedangkan, pendapat yang kedua disandarkan ke sejumlah nama ulama pakar hadis. Di antaranya, Imam al-Bukhari, Ibnu Ma'in, Abu Bakar ibn al-Arabi, dan Abu Syamah. Tetapi, belakangan validitas penyandaran pendapat ini ke deretan nama di atas pun digugat.

Dalam kasus Ibnu Ma'in, misalnya, seperti dinukilkan as-Sakhawi dalam Fath al-Mughits dan Ibnu 'Addi lewat Kamil, ternyata juga berpandangan sama, hadis lemah juga dapat dirujuk selama menyangkut keutamaan ibadah.

Sementara, anggapan Imam al-Bukhari menolak sama sekali hadis-hadis lemah seperti disampaikan al-Kautsari dan al-Qasimi, faktanya tidak sepenuhnya benar.

Syekh Abd al-Fattah Abu Ghaddah menegaskan di kitab Zhafr al-Amani, memang Bukhari ketat menyeleksi hadis dalam kumpulan hadis-hadis shahihnya. Tetapi, di kesempatan yang lain dia juga meriwayatkan hadis-hadis lemah seperti yang terabadikan dalam al-Adab al-Mufrad.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement