Senin 15 Apr 2013 10:57 WIB

Istri Wajib Bayar Utang Suami?

Utang/ilustrasi
Foto: johndillon.ie
Utang/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ustaz Nashih Nashrullah

Utang suami yang meninggal dunia tidak serta merta berpindah tangan ke istri atau keluarga yang ditinggalkan.

Berutang, memang penuh risiko. Baik risiko yang akan ditanggung oleh yang bersangkutan, atau bahkan keluarga yang ditinggalkan. Jika dalam kasus, suami meninggal dunia.

Persoalan ini, memang memunculkan pertanyaan, yang cukup membingungkan sebagian kalangan. Bila almarhum suami meninggalkan utang, apakah istrinya wajib membayarnya?

   

Sebelum menjelaskan hal itu, Prof Abdul Karim Zaidan dalam bukunya yang berjudul al-Mufashal fi ahkam al-Marati menegaskan, pada dasarnya perempuan, memiliki otoritas pengelolaan uang yang ia peroleh dari mata pencariannya sendiri.

Ia berhak mendayagunakan apapun sesuai dengan keinginannnya, tanpa intervensi dari pihak manapun. Ini banyak ditegaskan di sejumlah ayat dan hadis Rasulullah SAW. Salah satu hadis itu, seperti kisah Barirah yang dinukilkan oleh Aisyah.

   

Berdasarkan fatwa yang pernah dikeluarkan oleh Lembaga Fatwa (Dar al-Ifta) Mesir, istri tidak memiliki kewajiban apapun menanggung dan memenuhi utang almarhum suaminya.

Tanggungan itu, tidak serta merta berpindah ke ahli waris. Bila tak terbayar, maka kewajiban utang itu menjadi tanggungan almarhum yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. 

   

Jika dalam kasus seperti ini, sebaiknya utang tersebut ditutupi dari harta warisan almarhum suami. Karenanya, Islam menekankan agar sebelum pembagian harta waris, hendaknya utang dan wasiat didahulukan agar ditunaikan lebih dulu.

Ini seperti yang ditegaskan dalam ayat:” (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya.” (QS an-Nisaa’ [4]: 11).

Kecuali, jika memang Anda, para istri merelakan harta untuk dialosikan menutup utang almarhum. Ini merupakan bentuk tolong menolong dalam kewajiban.

Ketentuan serupa juga berlaku dalam kasus yang berutang dan meninggal adalah pihak istri. Suami yang ditinggalkan tidak secara otomatis menanggung beban tersebut.

   

Lalu, timbul pertanyaan, bolehkah istri mengalokasikan zakat atau pun sedekahnya untuk membayar utang suami yang telah berpulang? Para ulama berbeda pendapat.

Menurut kelompok pertama, zakat mal tersebut tidak boleh diperuntukkan untuk membayar utang-utang almarhum suami tersebut. Opsi ini adalah pilihan sejumlah Mazhab yakni Hanafi, salah satu riwayat di Mazhab Syafii dan Hanbali.

   

Dalam pandangan kalangan kedua, pengalokasian dana zakat untuk suami yang dililit utang diperbolehkan. Ini dengan catatan, selama kriteria seorang yang pailit akibat utang (gharim) terpenuhi. Pandangan ini dianut oleh Mazhab Maliki, Syafii, dan Hanbali di salah satu riwayat.

   

Ibnu Taimiyah juga mengamini opsi ini. Imam ad-Dasuqi menambahkan,  pengalokasian dana zakat hendaknya mengedepankan utang mereka yang meninggal dalam kondisi di atas, dibandingkan dengan utang mereka yang masih hidup.

Kelompok yang kedua beralasan, sesuai dengan ketetapan yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah. Rasul saw mengizinkan Zainab menyerahkan zakat malnya untuk Abdullah bin Masud yang tak lain suaminya sendiri. “Ada dua pahala, pahala kekerabatan dan pahala sedekah,”sabda Rasul.     

     

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement