Jumat 14 Dec 2012 14:50 WIB

Hukum Bank ASI (1)

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Chairul Akhmad
Kesibukan di Bank ASI.
Foto: sunjournal.com
Kesibukan di Bank ASI.

REPUBLIKA.CO.ID, Bank ASI di satu sisi memiliki manfaat, tetapi juga mendatangkan mudarat. Karenanya, para ulama tidak bersepakat tentang hukumnya.

Kebutuhan akan air susu ibu (ASI) telah disadari banyak kalangan. Kesadaran ini muncul, bahkan diiringi dengan ide untuk mendirikan bank ASI.

Bank ASI memberi kesempatan penampungan air susu dari para pendonor atau mereka yang sengaja mengambil imbalan atas ASI yang mereka salurkan di tempat itu. ASI tersebut lalu didistribusikan bagi mereka yang membutuhkan. Sebagiannya diawetkan untuk masa tertentu.

Tak ada catatan pasti sejak kapan ide dan eksekusi pendirian bank ASI itu muncul. Tetapi, menurut Prof Ismail Marhaba dalam bukunya yang berjudul “Al-Bunuk Ath-Thibbiyyah Al-Basyariyyah Wa Ahkamuha Al-Basyariyyah”, asumsi kuat kemunculan pertama kali bank ASI adalah sejak berakhirnya perang dunia pertama.

Inggris disebut-sebut negara pertama yang mengoperasikan bank ASI pada 1943. Fenomena ini kemudian menjalar di berbagai negara.

Seiring perjalanan waktu, risiko dan dampak negatif bank ASI pun terungkap ke publik. Penelitian semakin menguatkan urgensi proses penyusuan secara alami, berikut manfaatnya pula bagi ibu dan balitanya.

Namun, di sisi lain, ada kalangan perempuan yang ASI-nya kering. Sementara, sebagian ibu memiliki ASI yang melimpah. Ini ditambah dengan segudang alasan lain seperti meningkatnya kelahiran prematur yang menuntut asupan ASI yang cukup bagi bayi.

Tarik ulur antara manfaat dan bahaya bank ASI memicu diskusi hangat di kalangan ulama, terutama para cendekiawan masa kini. Ini mengingat persoalan bank ASI merupakan isu kontemporer yang belum muncul di kajian fikih klasik.

Prof Ismail mengatakan, para ulama mempunyai penyikapan yang berbeda. Menurut kubu yang pertama, hukum pendirian dan pengoperasian bank ASI diperbolehkan. Pendapat ini adalah pandangan yang antara lain dikemukakan oleh Syekh Ahmad Huraidi dan Syekh Athiyah Shaqar.

Kedua pendapat tokoh itu tertuang di Kompilasi Fatwa Lembaga Fatwa Mesir. Syekh Yusuf al-Qaradhawi juga berpendapat sama. Ada sederet nama lain seperti Syekh Khalid al-Madzkur, Izzuddin Tuni, Mahmud al-Makadi, dan Abdul Halim Uwais.

Kelompok kedua mengatakan, pendirian dan pengoperasian bank halal tidak diperbolehkan. Ini merupakan pandangan dari sejumlah tokoh ternama, di antaranya ialah Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Mukhtar as-Sulamy, Rajab at-Tamimiy, Bakar bin Abdullah Abu Zaid, Ahmad Abd al-Aziz al-Haddad. Abdurrahman an-Najjar, dan Muhammad Husamuddin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement