Sabtu 01 Dec 2012 14:59 WIB

Bolehkah Bekerja Saat Shalat Jumat? (2)

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Chairul Akhmad
Sejumlah pedagang menggelar dagangannya usai Shalat Jumat di halaman Masjid Cut Mutiah, Jakarta Pusat (ilustrasi).
Foto: Republika/Prayogi
Sejumlah pedagang menggelar dagangannya usai Shalat Jumat di halaman Masjid Cut Mutiah, Jakarta Pusat (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Muncul pertanyaan dari sebagian kalangan tentang uzur yang bisa menggugurkan kewajiban Jumat. Salah satunya, bekerja.

Bolehkah seseorang urung menunaikan shalat Jumat dengan alasan bekerja? Para ulama berbeda pendapat.

Syekh Abu Abdul Muiz mengemukakan, menurut para ahli fikih bermazhab Syafi’i, pekerjaan bisa dinyatakan sebagai uzur tidak shalat Jumat dengan kriteria tertentu.

Menurut al-Mardawi dalam kitab “Al-Inshaf”, di antara uzur diperbolehkannya meninggalkan shalat Jumat dan shalat jamaah ialah kekhawatiran adanya petaka akibat melewatkan pekerjaannya tersebut. Jika tidak maka pekerjaan bukanlah sebuah uzur.

Syekh Muiz memaparkan kriteria kapan pekerjaan itu masuk kategori uzur. Salah satunya, ada kebutuhan mendesak pada pekerjaan itu. Bila ditinggalkan untuk shalat Jumat, maka dapat mendatangkan bahaya.

Ia memberikan contoh, seperti seorang dokter ataupun perawat yang tengah mengobati pasien gawat darurat di mobil ambulans, petugas keamanan, dan para pekerja industri yang mengharuskan mereka mengontrol mesin produksi tiap waktu. Kedua, profesi yang ia lakukan adalah satu-satunya jalan mencari rezeki saat itu.

Menurut keputusan Komite Tetap Kajian dan Fatwa Arab Saudi, pekerjaan bisa menggugurkan kewajiban shalat Jumat bila dianggap vital dan bersinggungan langsung dengan hajat hidup orang banyak. Misalnya, aparat keamanan yang tengah bertugas, operator telekomunikasi, dan dokter. Tetapi, mereka tetap berkewajiban menunaikan shalat Zhuhur.

Guru Besar Ushul Fikih Universitas al-Quds Palestina berpendapat bahwa pekerjaan bukan kategori uzur. Karena itu, tidak ada alasan meninggalkan shalat Jumat untuk tujuan pekerjaan.

Ia berargumentasi dengan sejumlah dalil, antara lain hadis riwayat Muslim dari Abdullah bin Mas’ud di atas. Ia juga mengutip hadis riwayat Ibnu Majah dari Abu Hurairah. Menurutnya, pendapat ini adalah opsi yang dianut oleh mayoritas ahli fikih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement