REPUBLIKA.CO.ID, Zat pewarna produk makanan, obat-obatan, dan kosmetik tidak hanya dari pewarna tekstil yang berbahaya.
Ternyata, sejenis serangga yang dicampur dengan zat tertentu menghasilkan warna merah tua sejak lama dijadikan pilihan sebagai pewarna makanan dan kosmetik.
Zat warna tersebut diambil dari jenis serangga Cochineal. Bagaimana hukum kehalalan penggunaan zat warna dari Cochineal yang sudah dimanfaatkan sejak masa suku Aztec dan Maya?
Di kalangan ahli fikih, ada yang membolehkan dan mengharamkan penggunaan serangga sebagai bahan pewarna. Mazhab Syafi’i termasuk yang mengharamkan pemanfaatan serangga untuk bahan konsumsi.
Zat pewarna yang diambil dan dibuat dari yang haram, maka hukumnya haram pula. Berarti produk pangan, obat-obatan, dan kosmetika yang menggunakan zat pewarna dari Cochineal haram dikonsumsi umat Islam.
Abu Hanifah memiliki pan dangan yang sama dengan Imam Syafi’i berkenaan dengan serangga. Menurut mereka, serangga hukumnya haram karena termasuk khabaits, yaitu hewan yang menjijikkan. Dalilnya, “… dan Ia (Rasulullah) mengharamkan yang khabaits atau menjijikkan.’’ (QS al-Araf: 157).
Pendapat imam mazhab lain dalam kitab fikih menyatakan, serangga itu disebut hasyarat. Binatang dibagi menjadi dua kategori, yaitu ada yang darahnya mengalir (laha damun sailun), dan yang tidak mengalir (laisa laha damun sailun).
Menurut para fuqaha, serangga yang darahnya mengalir, maka bangkainya adalah najis. Sedangkan yang darahnya tidak mengalir, bangkainya dinyatakan suci. Imam Malik, Ibn Layla, dan Auza’i memiliki pendapat yang sama bahwa serangga itu halal selama tidak membahayakan.