REPUBLIKA.CO.ID, Pada Muktamar ke-28 NU, tim perumus Komisi I Masail Diniyah yang diketuai KH Agil Munawwar menetapkan kedudukan arisan haji yang jumlah setorannya berubah-ubah.
Para ulama NU bersepakat pada dasarnya arisan dibenarkan. Sedangkan terkait arisan haji karena berubah-ubahnya ONH, terdapat perbedaan pendapat. ''Tentang hajinya tetap sah,'' demikian bunyi fatwa itu.
Dasar hukum yang digunakan sebagai rujukan adalah al-Qulyubi, juz II, halaman 258. ''Perkumpulan yang populer (misalnya arisan) di kalangan wanita, di mana masing-masing wanita tersebut mengeluarkan sejumlah uang dan memberikannya kepada salah seorang dari mereka secara bergantian sampai giliran yang terakhir, maka yang demikian itu sah.''
Terkait menunaikan haji dengan uang pinjaman, Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, dalam Fatawa Nur ‘alad Darb, jilid 1 hal 277, mengungkapkan, haji dengan uang dari utangan tidak merusak sahnya ibadah haji.
Apalagi bila di balik utang itu ada tujuan yang mulia, yaitu menemani orangtua, atau wanita yang tidak memiliki mahram.
Seseorang, kata Syekh al-Utsaimin, tidak wajib menunaikan ibadah haji jika ia sedang menanggung utang, tapi tidak menggugurkan syarat sahnya. Sebagian ulama, berpandangan; jangan berutang untuk menunaikan ibadah haji, karena ibadah haji dalam kondisi seperti itu hukumnya tidak wajib.
Dengan kemurahan rahmat Allah SWT, seseorang hendaknya tidak memaksakan diri dengan berutang, yang ia sendiri tidak tahu kapan dapat melunasinya, bahkan barangkali ia mati dan belum sempat menunaikan utangnya.
Lalu jika begitu ia menanggung beban hutang selama-lamanya. Syekh al-Utsaimin membolehkan kredit di bank serta arisan haji.