REPUBLIKA.CO.ID, Takaluf artinya mengada-ada secara tidak semestinya.
Yakni, meminjam uang untuk naik haji kepada orang lain, namun tak memiliki sesuatu yang dapat dijadikan sumber untuk mengembalikan pinjaman itu.
Sedangkan, bagi orang yang mempunyai harta (benda) dan kemampuan untuk mengembalikan pinjaman utang, meminjam uang untuk berhaji tidak menjadi masalah.
''Misalnya, seseorang yang sudah berniat haji, tetapi pada saat pelunasan ONH, barang yang akan dijual untuk biaya haji belum laku. Kemudian ia pinjam atau berutang kepada saudara atau temannya. Sesudah pulang dari haji barang itu baru laku dan dikembalikan pinjaman tersebut,'' demikian bunyi fatwa itu.
Menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah, sebaiknya orang yang berangkat haji itu tak memiliki tanggungan apa-apa.
Fatwa yang sama juga telah ditetapkan para ulama NU dalam Muktamar ke-28 di Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta pada 25-28 November 1989.
Dalam fatwanya, ulama NU bersepakat bahwa mengambil kredit tabungan dengan jaminan dan angsuran dari gaji untuk membiayai ibadah haji adalah sah. ''Hukum hajinya sah,'' demikian bunyi fatwa tersebut.
Sebagai dasar hukumnya, para ulama NU mengambil dalil dari al-Syarqawi, Juz I, halaman 460: ''Orang yang tidak mampu, maka ia tidak wajib haji, akan tetapi jika ia melaksanakannya, maka hajinya sah.''
Dalil lainnya yang digunakan sebagai dasar hukum adalah Nihayatul Muhtaj, Juz III, halaman 223: ''Sah haji orang fakir dan semua yang tidak mampu selama ia termasuk orang merdeka dan mukallaf (Muslim, berakal dan balig), sebagaimana sah orang sakit yang memaksakan diri untuk melaksanakan shalat Jumat.''