Kamis 11 Oct 2012 09:58 WIB

Hukum Asuransi Jiwa (2)

Rep: Heri Ruslan/ Red: Chairul Akhmad
Asuransi jiwa (ilustrasi).
Foto: lifeinsurancebyjeff.com
Asuransi jiwa (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Fatwa serupa juga ditetapkan ulama NU dalam Konferensi Besar Syuriah NU di Surabaya, Jawa Timur pada 19 maret 1957. 

Fatwa kedua tentang asuransi jiwa itu ditetapkan setelah NU Cabang Pekalongan mempertanyakan kembali status hukum asuransi.

''Majelis Musyawarah memutuskan seperti yang sudah diputuskan oleh Muktamar NU ke-14, yakni mengansuransikan jiwa atau lainnya di kantor asuransi itu haram hukumnya, karena termasuk judi,'' demikian bunyi fatwa itu.

Ulama NU mendasarkan keputusannya berdasarkan Ahkamul Fukaha II soal nomor 256, majalah Nurul Islam nomor IV halaman 367, serta kitab “Al-Nahdlatul Islamiyah” halaman 471 dan 472.

''Adapun asuransi harta kekayaan, maka cabangnya banyak sekali, dan sekali kita berbicara satu cabang saja yaitu asuransi rumah...  Asuransi ini disepakati merupakan transaksi judi. Ia menyerupai pembelian kupon 'Ya Nashib', seseorang yang membelinya selama hidupnya menunggu tanpa memperoleh kemenangan.”

Berbeda dengan fatwa ulama NU, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI)  membolehkan asuransi, asal sesuai syariah.

Dalam Fatwa DSN No: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang  Pedoman Umum Asuransi Syariah ditetapkan; Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.

Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada poin (1) adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement