REPUBLIKA.CO.ID, Sedangkan yang dimaksud dengan bedah mayat kehakiman (autopsi forensik) adalah bedah mayat yang bertujuan mencari kebenaran hukum dari suatu peristiwa yang terjadi, seperti dugaan pembunuhan, bunuh diri, atau kecelakaan.
Bedah mayat semacam ini dilakukan biasanya atas permintaan pihak kepolisian atau kehakiman untuk memastikan sebab kematian seseorang. Misalnya karena tindak pidana kriminal atau kematian alamiah.
Melalui hasil visum dokter kehakiman (visum et repertum) biasanya akan diperoleh penyebab yang sebenarnya.
Hasil visum ini akan memengaruhi keputusan hakim dalam menentukan hukuman yang akan dijatuhkan. Jika sebelum divisum telah diketahui pelakunya, maka visum ini berfungsi sebagai bukti penguat atas dugaan yang terjadi.
Akan tetapi, jika tidak diketahui secara pasti pelakunya, jika bukan karena kematian secara alamiah, maka bedah mayat kehakiman ini merupakan alat bukti bahwa kematiannya bukan secara alamiah dengan dugaan pelakunya adalah orang tertentu.
Di Indonesia, undang-undang melarang warganya untuk menghalangi petugas melakukan pembedahan atas mayat demi kepentingan peradilan.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana pasal 222 dijelaskan, "Barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak/sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah."
Untuk mengantisipasi kemaslahatan bedah mayat ini, Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syarak Departemen Kesehatan RI pada Fatwa No. 4 tahun 1955 mengisyaratkan dibolehkannya bedah mayat dengan tujuan kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan dokter, dan penegakan keadilan.
Akan tetapi kebolehan itu dibatasi sekedar dalam keadaan darurat menurut kadar kepentingannya.