Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Para kabbalis juga mempunyai persamaan dengan kalangan sufi tentang keesaan Tuhan. Kalangan sufi dan kabbalis sangat berhati-hati menjelaskan hal ini karena bisa jatuh ke dalam apa yang disebut dengan ”kesesatan”.
Para teolog dan fukaha (ahli hukum) sering mempertanyakan bahkan menyesatkan para sufi dan kabbalis karena tuduhan memperkenalkan konsep kekadiman ganda (ta’addud al-qudama). Dalam Hindu juga dikenal dengan konsep Atna-Brahma yang dapat digunakan untuk membandingkan konsep keesaan dalam keberagaman.
Dalam agama ini dikenal ada dua jalan untuk mengenal, mendekatkan, dan menyatukan diri dengan Tuhan, yaitu jalan dari luar dan jalan dari dalam diri. Jalan pertama dapat membantu seseorang mengenal Tuhan melalui penyaksian Tuhan yang ada di mana-mana.
Di manapun seseorang berada di situ dapat menyaksikan wajah Tuhan ada di mana-mana. Alam raya (cosmos) sebagai omnipresent Tuhan merujuk kepada Brahma. Untuk sampai kepada pengenalan dan penghayatan seperti ini diperlukan pengabdian, kesetiaan, dan kesalehan secara individu dan sosial.
Adapun jalan kedua dapat membantu seseorang untuk mengenal Tuhan melalui penghayatan mendalam terhadap diri sendiri. Kesadaran bahwa Tuhan bersama kita dan Ia ada lebih dalam dari organ tubuh kita sendiri merupakan kesadaran terhadap Tuhan yang lebih tinggi (Atma).
Untuk sampai ke martabat ini diperlukan kontemplasi dan penyucian jiwa, yang dalam dunia tasawuf mungkin dapat dipadankan dengan konsep tafakur dan tadzakkur untuk pembersihan jiwa (al-tadzkiyah al-nafs).
Jadi, sesungguhnya keesaan dalam keragaman atau keragaman dalam keesaan diakui hampir di semua agama. Hanya saja untuk sampai ke pemahaman seperti ini diperlukan kesadaran yang lebih tinggi. Hanyalah orang yang berada dalam makam tertentu bisa melihat dan merasakan hakikat keberadaan Yang Maha Esa di dalam keberagaman wujud.




