Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Iyyaka na'budu wa iyya ka nasta'in (Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya Engkau yang kami memohon pertolongan). Ayat kelima Surah Al-Fatihah ini menyimpan rahasia besar.
Dalam gramatika bahasa Arab, ayat ini dikedepankan pihak yang diajak bicara (mukhathab) baru si pembicara (mutakallim), bukannya mengedepankan si pembicara (na'buduka wa nasta'inuka). Ini menunjukkan mahapentingnya Tuhan di dalam pengabdian hamba kepada Tuhannya.
Menurut Mullah Sadrah, pengedepanan Allah SWT (Al-Ma'bud) untuk menjelaskan kepada hamba (abid) bahwa yang pertama menjadi pusat perhatian ialah Allah SWT sebagai Al-Ma'bud semata.
Dengan mengingat dan memusatkan perhatian kita hanya kepada Allah SWT, kita mengosongkan perhatian kepada selainnya, termasuk mengosongkan perhatian terhadap harapan kita akan surga dan ketakutan kita akan neraka.
Dalam proses dan teknis penerjemahan, dengan mengedepankan Allah SWT sebagai objek, terjemahannya memutlakkan adanya kata "hanya" (hanya Engkaulah yang kami sembah). Terjemahan ini menyadarkan kita dari awal bahwa memang hanya Allah SWT yang patut untuk disembah.
Akan tetapi, jika si pembicara (mutakallim) yang didahulukan, pencantuman kata "hanya" menjadi tidak tepat: Na'buduka wa nasta'inuka (kami menyembah hanya Engkau dan kami memohon pertolongan hanya kepada Engkau). Lebih tepat: "Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan."
Dengan kata iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in, kita tidak sadar bahwa sesungguhnya Allah SWT sudah hadir di hadapan kita. Sudah hilang jarak yang jauh antara diri kita sebagai abid dan Tuhan sebagai Ma'bud. Ini juga akan menghilangkan ruang bagi siapa pun di hadapan kita karena sudah terlebih dahulu ditempati Sang Al-Ma'bud.
Bahkan, Mullah Sadrah juga menyebut iblis pun tidak berada di antara abid dan Al-Ma'bud. Berbeda jika mengedepankan subjek, yang kemungkinannya masih mengindikasikan adanya unsur ego sebagai hamba pilihan yang akan melakukan persembahan khusus kepada-Nya.




