REPUBLIKA.CO.ID, Lantas, bolehkah pernikahan dilangsungkan antara calon istri yang terserang sakit tersebut atau sebaliknya? Para ulama berbeda pendapat menyikapi persoalan ini.
Menurut mazhab Maliki, nikah dalam kasus semacam ini tidak sah. Bila akad telanjur dilangsungkan maka wajib dibatalkan. Kecuali, bila ada perubahan mendasar tentang kondisi kesehatannya.
Dalam kondisi ini pula, maka bila perempuan yang sakit ia tetap berhak mendapat mahar musamma (mahar yang disepakati oleh pengantin laki-laki dan perempuan yang disebutkan dalam redaksi akad).
Berbeda dengan Maliki, menurut mazhab Hanafi, boleh hukumnya melangsungkan pernikahan tersebut dengan mahar mitsil, yaitu jumlah mahar yang ditetapkan besarannya oleh pihak wanita berdasarkan adat yang berlaku di lingkungannya atau keluarganya dan tidak disebutkan sewaktu akad.
Bila lebih dari mahar mitsil, maka tidak diperbolehkan. Alasannya sederhana, nikah adalah kebutuhan asasi yang tak boleh dihalangi.
Sementara itu, menurut mazhab Hanbali, kategori pernikahan semacam ini memiliki status hukum yang sama layaknya pernikahan normal. Akad yang dilangsungkan pun tetap dihukumi sah.
Dengan demikian, berlaku beberapa konsekuensi hukum yang ditimbulkan, seperti hak warisan. Pihak mempelai laki-laki tetap berkewajiban pula membayar mahar mitsil.
Sedangkan menurut pendapat mazhab Syafi’i, hukum pernikahan tersebut tetap dianggap sah. Dengan syarat, mahar mitsil tetap dibayarkan.
Menurut mazhab Zaidiyyah, salah satu mazhab Syi’ah terkemuka, pernikahan semacam ini tetap saja sah. Mereka tidak mempersoalkan jenis mahar apakah yang akan dibayar. Sehingga, apa pun jenis mahar yang dibayar, pernikahannya tetap sah.
Menikahi pasangan sekarat
Mazhab Hanafi: Boleh dengan mahar mitsil
Mazhab Hanbali: Tetap sah
Mazhab Maliki: Tidak sah dan harus dibatalkan
Mazhab Syafi’i: Sah dengan mahar mitsil
Mazhab Zaidiy: Sah apa pun maharnya