REPUBLIKA.CO.ID, Lazimnya, suatu pernikahan dilangsungkan oleh kedua calon mempelai yang berada dalam kondisi sehat.
Kedua atau salah satu dari calon suami-istri tersebut tidak sedang sakit parah. Namun, dalam beberapa kondisi ada beberapa pengecualian kasus berikut hukumnya.
Salah satunya ialah pernikahan antara dua calon pasangan suami istri yang salah satunya atau bahkan keduanya menderita penyakit. Jenis penyakit yang dideritanya itu sangat ganas.
Kecil kemungkinan, berdasarkan diagnosis dokter, ia akan selamat dari penyakit yang diderita nya itu. Lantas, bagaimana misalnya dengan pernikahan dalam kondisi seperti ini. Entah yang sakit adalah mempelai perempuannya atau calon suami?
Dalam kajian fikih, persoalan ini tak terlepas dari diskusi antar mazhab. Fenomena sakit yang kecil kemungkinan bisa sembuh tersebut diistilahkan dengan maradh al-maut.
Sebagaimana dikutip dari kitab Al-Mufashhal fi Ahkam Al-Mar’at karangan Dr Abdul Karim Zaidan, berdasarkan analisis mazhab Hanafi, kriteria sakit yang demikian bisa diketahui dengan tiga syarat:
Pertama, yang bersangkutan tak lagi mampu beraktivitas normal seperti biasa. Kedua, penyakit yang diderita itu kemungkinan besar—berdasarkan diagnosis medis—sulit diselamatkan. Dan syarat ketiga, menurut mazhab ini, ialah minimal penyakit itu telah dideritanya satu tahun.
Sedang menurut mazhab Hanbali, jenis penyakit tersebut cukup kategori kritis, seperti jantung dan kanker. Dalam pandangan mazhab Syafi’i segala jenis penyakit yang dikhawatir kan tidak sembuh. Bukan penyakit yang jarang, meskipun penyakit itu bukan kategori sering menyerang kebanyakan orang.
Menurut mazhab Maliki, kriterianya ialah penyakit yang bisa menyebabkan kematian menurut kebiasaan yang terjadi.