Selasa 04 Sep 2018 17:42 WIB

Yang Terlarang dan Dibolehkan di Masjid

Muslim hendaknya tak berjual beli di dalam masjid.

Umat muslim beraktivitas di dalam Masjid Agung Demak, Bintoro, Demak, Jawa Tengah, Ahad (20/5).
Foto: Antara/Aji Styawan
Umat muslim beraktivitas di dalam Masjid Agung Demak, Bintoro, Demak, Jawa Tengah, Ahad (20/5).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Masjid merupakan tempat suci yang menjadi pusat aktivitas ibadah umat Islam. Pertanyaannya, bolehkan ada aktivitas lain di luar ibadah yang bisa dilakukan?

Secara tegas, Rasulullah menyampaikan sebuah pernyataan: “Bila kamu melihat orang bertransaksi di dalam masjid, doakanlah mudah-mudahan Allah SWT tak menguntungkan perdaganganmu.” Ini terangkum dalam hadis yang diriwayatkan oleh Nasai dan Tirmidzi. Rasulullah melarang Muslim berjual beli di dalam masjid.

Aam Amiruddin dalam bukuya, Bedah Masalah Kontemporer, mengatakan, bila di luar masjid, misalnya di halaman masjid, kegiatan itu tidaklah dilarang. Ia menambahkan, merujuk pada keterangan dalam hadis, ada dua hal yang tak diizinkan dilangsungkan di dalam masjid. Selain melarang berdagang di dalam masjid, Rasulullah juga tak memperbolehkan mengumumkan kehilangan.

Misalnya, seorang pengurus masjid menyampaikan pengumuman di depan jamaah, siapakah yang menemukan jam tangan merek Y. “Ini dilarang,” katanya. Tetapi kalau mengumumkan penemuan barang yang hilang, itu tak mengapa. Seperti merespons transaksi perdagangan di dalam masjid, Rasulullah juga melakukannya terhadap pengumuman kehilangan.

Menurut beliau, siapa yang mendengar di masjid mengumumkan barangnya yang hilang, doakanlah semoga Allah tak mengembalikan barang-barang yang hilang itu. Sebab, masjid tak didirikan untuk itu. Abdullah bin Umar yang di kutip Sayyid Sabiq lewat bukunya, Fikih Sunnah, mengisahkan cerita lainnya. Dia mengungkapkan, Rasul melarang jual beli, mencari barang hilang, dan bersyair.

Muhammad SAW pun tak mengizinkan digelarnya perkumpulan atau pengajian di dalam masjid sebelum shalat Jumat. Sabiq mengatakan, maksud dari larangan melantunkan syair adalah apabila berisi ejekan terhadap Muslim, pujian bagi orang zalim, serta perkataan kotor. Sebaliknya, syair yang mengandung hikmah, pujian terhadap Islam, dan anjuran berbuat baik, silakan saja.

Abu Hurairah menuturkan pengalamannya. Umar, jelas dia, menghampiri Hassan yang sedang bersyair di dalam masjid. Umar memperhatikannya. Hassan pun berkata, dulu ia pernah bersyair di tempat itu, maksudnya masjid, dan dihadiri oleh orang yang lebih baik dari Umar, yaitu Rasulullah. Cendekiawan Muslim Ibnu Taimiyah menambahkan satu hal lagi yang tak dibolehkan di masjid, yaitu meminta-minta.

Pada dasarnya, jelas dia, memintaminta di dalam masjid atau di tempat yang lain dilarang kecuali dalam keadaan terpaksa dan mengganggu orang lain, seperti melangkahi bahu orang yang sedang duduk, tidak berdusta atas apa yang disampaikan, dan tak mengeraskan suara hingga orang lain terganggu.

Misalnya, seseorang meminta-minta waktu khatib berkhotbah atau orangorang sedang mendengarkan pengajian. Di sisi lain, mengeraskan suara hingga mengganggu orang lain yang sedang shalat hukumnya haram, walaupun membaca Alquran. Abu Said al-Khudri mengatakan, Rasul sedang beriktikaf dan mendengar kaum Muslim saling mengeraskan suara bacaan Alquran.

Nabi kemudian membuka tirai dan mengatakan, “Ingatlah sesungguhnya kalian sedang bermunajat kepada Tuhan, maka janganlah saling mengganggu dan jangan sebagian kalian mengeraskan bacaan Alquran terhadap yang lainnya. Selanjutnya, Muslim diminta untuk membersihkan dan memberikan wewangian di masjid.

Aisyah menyatakan, Muhammad SAW memerintahkan pembangunan masjidmasjid di perkampungan dan menyuruh agar masjid itu dibersihkan dan diberi wewangian. Terkait perintah ini, Abdullah membakar kayu gaharu untuk wewangian di masjid saat Umar bin Khattab duduk di atas mimbar menyampaikan khotbah.

Lebih jauh, Nabi Muhammad menegaskan, pahala-pahala umatnya dihadapkan kepadanya hingga pahala seseorang yang mengeluarkan kotoran dari dalam masjid. Sayyid Sabiq memaparkan, masjid merupakan tempat ibadah, maka harus dirawat dan dibersihkan dari segala bentuk kotoran serta bau yang tak sedap.

Suatu ketika, dalam salah satu khotbahnya di hari Jumat, Umar mengingatkan, manusia suka sekali memakan dua jenis tumbuhan padahal berbau menyengat, yaitu bawang merah dan bawang putih. Rasul, imbuh dia, pernah menyuruh seseorang ke Baqi, tempat bersuci, saat tercium dari orang itu bau kedua tumbuhan tersebut.

Oleh karena itu, siapa saja yang memakannya hendaknya dia menghilangkan terlebih dahulu baunya sebelum memasuki masjid. Imam Nawawi juga angkat bicara. Ia tak mempersoalkan pembicaraan di dalam masjid meski bersangkut-paut dengan masalah duniawi dan menimbulkan tawa asalkan isi pembicaraan tak bertentangan dengan agama.

Ia bersandar pada hadis yang disampaikan Jabir bin Samurah. Jabir menjelaskan, Rasulullah tidak meninggalkan tempat shalatnya setelah shalat Subuh sampai matahari terbit. Sementara para sahabat membicarakan hal-hal yang mereka alami pada masa jahiliah. Terkadang, mereka tertawa dan Rasulullah tersenyum mendengarnya.

Bagaimana dengan tidur dan makan di masjid? Imam Nawawi mengutip Ibnu Umar. Pada masa Rasulullah, Ibnu Umar dan sahabat lainnya kala masih muda tidur siang di dalam masjid. Dari sini, urai Imam Nawawi, dapat dipahami bahwa ashabus shuffah atau sahabat yang tinggal di dalam masjid adalah Ali, Shafwan bin Umayyah, dan sejumlah sahabat lainnya sering tidur di dalam masjid.

Sebelum masuk Islam, Tsumamah pernah tidur di dalam masjid. Itu terjadi di masa Rasul. Imam Syafii dalam al-Umm mengatakan, seorang musyrik saja diizinkan tidur di masjid, apalagi Muslim. Pada buku Al-Mukhtashar, ada penjelasan seorang musyrik boleh tidur di masjid pada sisi mana pun, kecuali di Masjidil Haram.

Sedangkan permasalahan makan di dalam masjid, Abdullah bin Harits mengatakan, “Pada masa Rasulullah kami pernah makan roti dan daging di dalam masjid.”

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement