Selasa 10 Jul 2018 14:07 WIB

Di Balik Larangan Konsumsi Bangkai

Islam datang memberikan pandangan baru dalam masalah makanan hewani.

Bangkai sapi korban letusan Merapi
Foto: Antara
Bangkai sapi korban letusan Merapi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Orang-orang Arab jahiliah mengharamkan sebagian binatang karena dianggap kotor. Keharaman binatang juga terkait dengan alasan ibadah, yaitu untuk mendekatkan diri kepada berhala dan karena mengikuti waham (kepercayaan yang salah).

Di balik sikap itu, mereka juga menunjukkan perilaku yang kontradiktif. Mereka menghalalkan binatang yang kotor seperti bangkai dan darah yang mengalir. Ada pula yang mengonsumsi makanan yang berlebihan, ada yang melarang secara keras.

Islam datang memberikan pandangan baru dalam masalah makanan hewani. Agama ini mengajarkan manusia untuk mengambil yang baik-baik dari segala yang telah dihamparkan Allah SWT di muka bumi. Walaupun begitu, Allah memberikan batasan berupa empat hal yang diatur dalam QS al-An'am: 145. Keempat hal tersebut, antara lain, bangkai, darah yang mengalir, dan daging babi yang dianggap kotor. Allah juga mengharamkan binatang yang disembelih dengan nama selain-Nya.

Ulama kontemporer Yusuf Qaradhawi menjelaskan dalam kitab Halal dan Haram, bangkai diartikan sebagai makanan yang kematiannya tidak disebabkan adanya usaha manusia. Secara naluri, bangkai dipandang sebagai barang yang kotor. 

 

Asal-usul kematian binatang yang ditemukan dalam bentuk bangkai juga tidak jelas. Suatu binatang bisa saja mati karena penyakit, umur sudah tua, atau mengonsumsi makanan beracun. Dengan kata lain, bangkai tidak dapat dijamin keamanannya untuk dikonsumsi.

Diharamkannya bangkai menyimpan hikmah agar manusia tidak tamak. Dengan mengharamkan bangkai bagi manusia, Allah menyediakannya sebagai makanan bagi makhluk lain seperti burung dan binatang pemangsa lain. Ini juga memberikan isyarat agar manusia senantiasa memperhatikan binatang yang dimiliki dan tidak membiarkannya sakit, mati, lalu menjadi bangkai.

Selain itu, naluri manusia yang sehat pasti tidak akan rela memakan bangkai, dengan sendirinya ia akan menganggapnya kotor. Para ahli di kalangan mereka pasti akan beranggapan bahwa makan bangkai adalah suatu perbuatan buruk yang dapat menurunkan derajat manusia. 

Oleh karena itu, seluruh agama samawi memandang bangkai tersebut suatu makanan yang dikategorikan haram. Mereka tidak boleh makan kecuali yang telah disembelih sesuai dengan syariat.

Selanjutnya, binatang yang mati dengan sendirinya pada umumnya mati karena suatu sebab tertentu. Bisa jadi, karena penyakit yang mengancam, umurnya sudah tua, atau karena makan tumbuh-tumbuhan yang beracun dan sebagainya sehingga keamanannya tidak dapat dijamin. 

Allah mengharamkan bangkai kepada manusia agar rantai makanan tetap berjalan alami. Artinya, hewan pemangsa lain atau burung-burung memiliki kesempatan untuk memakan bangkai sebagai bukti kasih sayang Allah.

Dalam QS al-Maidah ayat 3, Allah memperjelas kategori bangkai ke dalam lima kelompok. Pertama, al-munkhaniqah, yaitu binatang yang mati dicekik, baik menggunakan tangan maupun alat untuk menghimpit leher dan menghentikan pernapasan binatang tersebut.

Kedua, al-mauqudzah, yaitu binatang yang mati karena dipukul. Ketiga, al-mutaraddiyah, binatang yang mati karena jatuh, misalnya, jatuh ke jurang atau ke sumur. Keempat, an-nathihah, yaitu binatang yang mati karena ditanduk atau baku hantam. Dan, kelima, maa akalas sabu, yaitu binatang yang disergap binatang buas dan dimakan sebagian hingga mati.

Sebelum menutup ayat tersebut, Allah menyebutkan, "Kecuali yang kalian sempat menyembelihnya."  Maka, selama hewan itu masih bergerak kakinya, ekornya, maupun kerlingan matanya, kemudian disembelih, hewan tersebut halal dikonsumsi.

Soal pemanfaatan bangkai selain untuk konsumsi ada perbedaan di kalangan ulama. Dewan Penasehat Institut Ilmu Quran (IIQ) KH Ahsin Sakho Muhammad mengatakan, batasan bagian tubuh bangkai hewan yang boleh dimanfaatkan merupakan wilayah ijtihad. Ada ulama yang mengatakan, semua bagian yang masih berguna boleh dimanfaatkan. Pendapat ini bertumpu pada perintah Allah untuk memanfaatkan semua ciptaan-Nya yang ada di bumi.

Pimpinan Pusat Kajian Hadis KH Ahmad Luthfi Fathullah cenderung lebih ketat dalam menetapkan batasan ini. Menurut dia, pemanfaatan bangkai yang diperbolehkan hanya terbatas pada bagian kulit saja. Daging dan bagian yang lain tidak boleh dimanfaatkan sebab dikategorikan sebagai bangkai. Penggunaan kulit bangkai yang disamak dijelaskan dalam berbagai hadis.

Wilayah khilafiyah lain terkait dengan jenis bangkai hewan yang boleh disamak. Kiai Luthfi mengatakan, ulama tidak memperdebatkan bolehnya pemanfaatan kulit hewan yang halal dimakan. Artinya, jika suatu hewan halal dimakan selama hidupnya,  kulit dari hewan tersebut boleh disamak. Begitu pula kulit dari bangkai hewan itu. Hewan-hewan yang masuk dalam kategori ini, antara lain, sapi, kambing, domba, unta, rusa, dan sebagainya.

Lebih lanjut, Kiai Luthfi memberikan batasan kategori hewan yang boleh disamak adalah yang termasuk dalam najis besar (mughaladhah). Dengan begitu, kata dia, kulit anjing dan babi tidak boleh disamak.

Walaupun begitu, ia tidak menampik adanya pendapat ulama lain yang membolehkan penyamakan kulit babi dan anjing dengan melandaskan pada hadis riwayat Muslim. Dalam hadis tersebut dikatakan, Rasulullah pernah bersabda, "Kulit apa saja kalau sudah disamak maka sungguh menjadi suci."

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement