Selasa 16 Oct 2018 07:00 WIB

Mengurus Jenazah dalam Kondisi Darurat

Jenazah bisa dikuburkan secara massal.

Akibat gempa bumi dan gelombang tsunami yang terjadi pada 28 September lalu, membuat Masjid Arkam Babu Rahman (masjid Apung) yang terletak di pantai Talise, Palu Sulawesi Tengah, nampak rusak, Sabtu (13/10).
Foto: Darmawan / Republika
Akibat gempa bumi dan gelombang tsunami yang terjadi pada 28 September lalu, membuat Masjid Arkam Babu Rahman (masjid Apung) yang terletak di pantai Talise, Palu Sulawesi Tengah, nampak rusak, Sabtu (13/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam mengajarkan agar suatu kaum mengurus jenazah anggotanya yang wafat. Jenazah Muslim hukumnya fardhu kifayah untuk dimandikan, dikafani, dishalatkan, hingga dikuburkan. QS Abasa:21 menunjukkan bahwa manusia harus dikuburkan saat meninggal dunia. "Kemudian, Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur."

Rasulullah SAW pun melalui hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud menjelaskan bahwa umat Islam harus segera mengurus jenazahnya. "Tidak pantas di antara mayat seorang Muslim untuk ditahan di antara keluarganya."

Dalam keadaan normal, mayat wajib dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan. Prosedur ini dilakukan menurut tata cara yang sudah ditentukan dalam syariat Islam. Dalam keadaan darurat, di mana pengurusan (penanganan) jenazah tidak mungkin memenuhi ketentuan syariat di atas maka pengurusan jenazah dilakukan dengan cara darurat.

Ada kondisi di mana Nabi SAW pernah memerintahkan untuk mengubur para syuhada' Uhud dalam bercak-bercak darah. Mereka tidak dimandikan dan tidak dishalatkan (HR Al Bukhari). Hukum ini khusus bagi syahid ma'rakah (orang yang terbunuh di medan perang). Adapun orang yang mati terbunuh karena membela hartanya atau kehormatannya, merujuk pada Asy Syarhul Mumti (5/364), mereka tetap dimandikan, meskipun mereka juga syahid. Demikian orang yang mati karena wabah tha'un atau karena penyakit perut, mati tenggelam, atau terbakar. Meskipun mereka syahid, mereka tetap dimandikan.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah  mengeluarkan fatwa tentang pengurusan jenazah dalam keadaan darurat. Fatwa tersebut lahir pada 31 Desember 2004. Tidak lama setelah bencana tsunami di Aceh terjadi pada 26 Desember 2004 silam. Ketika itu, tak kurang dari seratus ribu korban jiwa tewas. Saksi mata bahkan melihat setiap jarak 100 meter ada 70 mayat di Banda Aceh.

Untuk kondisi darurat tersebut, MUI pun berfatwa bahwa jenazah boleh tidak dimandikan saat hendak dikubur. Tapi, apabila memungkinkan, sebaiknya diguyur sebelum penguburan. Pakaian yang melekat pada mayat atau kantong mayat dapat menjadi kafan bagi jenazah. Meski kafan darurat itu terkena najis.

Tak hanya itu, menurut MUI, mayat boleh dishalatkan sesudah dikuburkan meski dari jarak jauh (shalat ghaib). Boleh juga tidak dishalati menurut qaul mu'tamad (pendapat yang kuat). Jenazah pun wajib segera dikuburkan. Pemakaman tersebut bisa dilakukan secara massal dalam jumlah yang tidak terbatas. Meski terdiri atas satu atau beberapa liang kubur. Tak hanya itu, dalam kondisi seperti tsunami Aceh, mayat tidak harus dihadapkan ke arah kiblat.

Penguburan massal juga boleh dilakukan tanpa memisahkan jenazah laki-laki dan perempuan. Pun, antara Muslim dan non-Muslim. Jenazah boleh langsung dikuburkan di tempat jenazah ditemukan. Mantan ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Hasanuddin AF menambahkan, penanganan jenazah korban bencana dalam hukum Islam terbagi atas kondisi.

Pertama, saat jasad korban di temukan utuh. Kiai Hasanuddin mengungkapkan, umat Islam setem pat masih wajib untuk memandikan, mengafani, hingga melaksanakan shalat jenazah untuk jasad tersebut, seperti layaknya pemula saraan jenazah normal.

Kedua, untuk jasad korban yang tidak ditemukan utuh maka  tak perlu dimandikan. Dia menjelaskan, jenazah boleh lang sung dikafani hingga dishalatkan, dan dimakamkan secara Islami di tempat yang sesuai kehendak sanak familinya.

Untuk jasad kategori ketiga ketika korban sudah tidak mungkin ditemukan. Sebelum memutuskan tidak ditemukan, dia menjelaskan, keluarga jenazah harus memastikan proses pencarian korban sudah diputuskan berakhir oleh pihak yang berwenang, misalnya, Badan Nasional Penang gulangan Bencana (BNPB).

Kemudian, dari data BNPB atau pejabat daerah setempat, dapat diperoleh kepastian nama-nama orang hilang itu serta agama mereka ialah Islam. Kemudian, handai tolan bisa melaksanakan shalat ghaib buat mereka.

Persatuan Islam (Persis) pun pernah berfatwa mengenai penanganan jenazah dalam kondisi darurat. Menurut Persis, membakar mayat korban bencana hukumnya haram kecuali bila tidak ada jalan lain. Artinya, pembakaran mayat dilakukan dalam kondisi luar biasa. Misalnya, bila dibiarkan mayat-mayat itu bisa menyebarkan penyakit menular bagi manusia. Wallahualam.

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement