Rabu 27 Jun 2018 17:19 WIB

Berduaan dengan Tunangan, Bolehkah?

proses khitbah hanya sekadar pengumuman menyampaikan keinginan untuk menikahi.

tunangan/ilustrasi
Foto: Republika/Prayogi
tunangan/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam adat-istiadat masyarakat, sepasang insan yang bertunangan atau sudah lamaran telah dianggap "sudah separuh jalan" dalam menjalani tahapan pernikahan. Mereka berdalil dengan hadis Nabi SAW, "Tidak boleh salah seorang di antara kamu meminang pinangan saudaranya." (HR Bukhari Muslim).

Hadis ini menegaskan bahwa tak ada kesempatan lagi bagi laki-laki lain untuk meminang wanita yang sudah dipinang. Apalagi, wali perempuan sudah menyetujui pinangan tersebut baik melalui lisan maupun kiasan. Jadi, ada yang menyimpulkan, sepasang calon suami istri yang sudah masuk proses khitbah (bertunangan) seakan tinggal menunggu hari saja untuk benar-benar "legal" 100 persen.

Apalagi, beberapa proses dalam khitbah itu sendiri membolehkan nadhar (melihat) calon suami atau istri. Beberapa pendapat bahkan membolehkan untuk melihat calon istri walau tanpa kerudung, tanpa sepengetahuannya ataupun tidak. Hal ini juga menjadi alasan bagi mereka yang sudah bertunangan agar bisa berinteraksi lebih dari batas yang biasanya. Termasuk juga untuk berkhalwat (berduaan). Apakah benar demikian?

Seluruh ulama bersepakat, sebelum proses zawaj (pernikahan) yang ditandai dengan akad nikah terlaksana, calon suami istri tetaplah orang asing. Imam Nawawi menegaskan, proses khitbah hanya sekadar pengumuman menyampaikan keinginan untuk menikahi seorang wanita.

Calon suami istri dan dua keluarga yang akan melangsungkan pernikahan tak mempunyai ikatan apa-apa. Keduanya mempunyai khiyar (pilihan) untuk terus melanjutkannya hingga ke jenjang pernikahan atau membatalkannya.

Demikian juga bagi calon suami istri yang telah melangsungkan proses khitbah tak mempunyai hak dan tanggung jawab apa-apa. Baik dalam perspektif adat, agama, maupun undang-undang, mereka tak punya ikatan apa pun. Logikanya, dalam proses khitbah, tak ada mahar yang diterima calon istri.

Calon suami bisa membatalkan khitbah dan pergi begitu saja tanpa konsekuensi apa pun. Jadi, bagaimana mungkin calon istri bisa menghalalkan dirinya bagi laki-laki yang belum punya ikatan apa pun dengan dirinya?

Sementara, akad nikah diambil dari kata 'aqdu atau akad yang berarti ikatan. Ikatan ini disebut Alquran sebagai mitsaqan ghalizha (ikatan yang sangat kuat) karena mencakup hak dan kewajiban suami istri, syarat dan rukun pernikahan, batas-batas syariat soal pernikahan, hingga akibat-akibat yang akan ditanggung jika mengabaikan ikatan tersebut. Ketika akad dibacakan barulah suami istri yang semula haram menjadi halal. Inilah perbedaannya dengan khitbah.

Adab dan tata cara khitbah pun diatur dalam Alquran. Firman Allah SWT, "Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita (yang suaminya telah meninggal dan masih dalam idah itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka. Maka janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf (sindiran yang baik). Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah sebelum habis idahnya." (QS al-Baqarah [2]: 235).

Secara umum, ayat ini sebagai petunjuk bagaimana adab berkomunikasi bagi orang yang akan melamar. Bolehnya komunikasi bagi mereka yang akan menikah hanya sebatas menyampaikan perkataan yang makruf (kebaikan). Bahkan, orang yang masih dalam masa idah tak boleh dilamar, kecuali sebatas sindiran saja.

Jadi, bagaimanapun megah dan formalnya seremonial dalam melangsungkan khitbah tak akan menggeser hukum berinteraksi antara calon suami istri tersebut sedikit pun. Proses khitbah hanya sebatas menghalangi lelaki lain untuk meminang.

Tak dijumpai dalil sarih (jelas) yang membolehkan orang yang sudah bertunangan untuk berkhalwat. Sebagaimana haram bagi mereka berkhalwat sebelum khitbah, demikian juga haramnya setelah khitbah. Walau sudah bertunangan, suami istri tersebut masih "orang asing" dalam pandangan syariat. Hendaklah mereka bersabar dan menahan diri hingga memasuki proses akad nikah.

Adab Islami dalam khitbah tidak memperbolehkan waktu yang lama antara khitbah dan nikah. Ketika sepasang calon suami istri sudah berkhitbah, proses selanjutnya adalah menikah. Jika ada waktu yang lama, dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah. Bahkan, bisa berpotensi menjatuhkan calon pasutri tersebut pada perzinaan.

Berlama-lama dalam proses tunangan, menunda-nunda pernikahan setelah bertunangan, serta membiarkan sepasang tunangan untuk pergi berdua-duaan adalah kebatilan. Kebatilan ini tidak hanya akan merusak diri mereka dan rumah tangga mereka kelak, tetapi juga bagi dua keluarga yang akan disatukan dalam perkawinan.

Beberapa tradisi dan adat nusantara seperti di Jawa dan Sumatra memahami hal ini. Dalam tradisi tersebut, wanita yang sudah dikhitbah akan dipingit di rumahnya sampai selesai proses akad nikah. Calon pasutri tersebut dilarang berkomunikasi dalam bentuk apa pun. Biarlah kerinduan keduanya lantaran harus sabar menahan diri sebagai pemanis di awal rumah tangga mereka.

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement