REPUBLIKA.CO.ID,SURABAYA--Khilafah Islamiyah dan terorisme meramaikan halaqah/seminar bertajuk "Penanggulangan Terorisme" yang digelar MUI Pusat di Masjid Nasional Al Akbar, Surabaya, Ahad (28/11). "Kita tidak bisa melarang khilafah Islamiyah bila sebatas wacana, tapi kalau berupa tindakan kekerasan, maka akan berhadapan dengan hukum," kata Kepala Badan Penanggulangan Terorisme Nasional, Ansyaad Mbai.
Di hadapan 100 peserta halaqah dari 40-an organisasi Islam seperti MUI, NU, Muhammadiyah, HTI, FPI, dan sebagainya, Ansyaad mengemukakan, demokrasi yang dikembangkan Indonesia saat ini tidak dapat melarang wacana karena merupakan bagian dari kebebasan mengemukakan pendapat.
"Tapi, kalau sudah kekerasan atau tindakan melawan hukum dengan mendirikan negara Islam yang bertentangan UUD 1945 dan kesepakatan para pendiri bangsa ini yang mayoritas Islam tapi menghormati agama-agama lain," katanya.
Penjelasan Ansyaad sempat dikritik seorang aktivis HTI bahwa kesepatan para pendiri negara tentang Piagam Jakarta itu merupakan penyelewenangan sejarah yang dipelopori Bung Hatta. "Ahli sejarah Manshur Suryonegoro justru menyatakan kelompok non-Islam sebenarnya sudah sepakat dengan `Khilafah` dan bahwa seorang pendeta mendukung 200 persen, tapi semuanya dipotong Hatta," ungkap seorang pengurus HTI disambut teriakan `Allahu Akbar`.
Ansyaad menjawab, dia tidak bisa berputar ke masa lalu, namun berpegang kepada konstitusi yang ada sekarang. "Kalau HTI memang ingin mengubah, silakan ke DPR RI. Usulkan apa yang Anda inginkan tentang Khilafah Islamiyah, tapi kalau kalah dalam musyawarah jangan bertindak melanggar hukum," katanya.
Kapolda Jatim Irjen Badrodin Haiti dan Ketua MUI Jatim KH Abdusshomad Buchory mendukung pernyatan Ansyaad. "Negara kita adalah negara hukum. Boleh saja kita punya gagasan, tapi gunakan cara-cara konstitusional. Kalau tidak maka akan bertindak pidana dan akan berhadapan dengan hukum," kata Kapolda Jatim.
Sementara Ketua MUI Jatim KH Abdusshomad Buchory menyatakan, "Negara ini ada prosedurnya. Kalau mau jujur sebenarnya sudah banyak peraturan Islam yang menjadi hukum positif dan hal itu melalui prosedur yang konstitusional."
Ketika berbicara terorisme Ansyaad Mbai menyatakan terorisme itu tidak ada kaitannya dengan agama, tapi politik dan persepsi atau penafsiran tentang agama. "Karena itu, kita jangan bicara terorisme secara teori dan dikaitkan dengan agama, tapi kita harus melihat fakta bahwa orang yang menghalalkan darah orang lain dengan atas nama apapun, maka berhadapan dengan hukum," tegasnya.
Dalam kesempatan itu, ia mengutip hasil penelitian UIN Malang bahwa pelaku teroris itu bukan dari pesantren, tapi justru dari perguruan tinggi umum. "PT yang umum itu pun bukan pinggiran, tapi PT yang top. Pelaku teror itu juga bukan dari jurusan sosial, tapi eksakta dan sains. Buktinya, teroris yang ditangkap di Bandung merupakan sarjana teknik kimia ITB," katanya.
Namun, ia mengaku terorisme itu tidak bisa diselesaikan dengan perang atau hukum semata, karena keduanya tidak akan menyelesaikan masalah. Sementara Kapolda Jatim Irjen Pol Badrodin Haiti menilai teroris itu bukan hanya bom, bisa juga berupa pembunuhan, penculikan, dan sebagainya yang tujuannya sama dengan teroris.
"Itu karena faktor penyebab terorisme itu bukan hanya faktor ideologi, karena ada juga terkait faktor ketidakadilan politik seperti NII pada tahun 1949, faktor ketidakadilan global seperti AS dan sekutunya, dan faktor separatisme," katanya.
Oleh karena itu, katanya, solusi mengatasi terorisme adalah dengan mempersempit ruang gerak melalui penertiban administrasi kependudukan (KTP dan surat pindah). "KTP atau surat pindah itu bisa dibuat dimana-mana, karena itu nama teroris itu banyak dengan memanfaatkan sistem administrasi," katanya.
"Yang juga penting adalah deradikalisasi, karena itu peran ulama sangat penting untuk membentengi masyarakat agar tidak terpengaruh radikalisme dan selektif terhadap tamu yang kadang memanfaatkan keramahan orang Indonesia," katanya.
Sementara Ketua MUI Jatim KH Abdusshomad Bukhory berjanji untuk meningkatkan halaqah dengan peserta yang lebih banyak dan narasumber yang berskala nasional seperti Ustadz Jakfar Umar Thalib.