REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyoroti tindakan pemerintah Mesir dan Libya yang menghalangi masuknya konvoi kemanusiaan ke Jalur Gaza, Palestina. Bukan hanya menghalangi, otoritas setempat juga dilaporkan telah mendeportasi sejumlah peserta long march itu.
Global March to Gaza adalah sebuah inisiatif akar rumput yang bertujuan menekan Israel agar membuka blokade Jalur Gaza. Harapannya, pengiriman bantuan kemanusiaan internasional kepada penduduk Jalur Gaza dapat segera dilakukan.
Menurut Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional KH Sudarnoto Abdul Hakim, penghalangan dan deportasi tersebut amat disayangkan.
Di satu sisi, peserta long march kemanusiaan---yang berasal dari puluhan negara---memang harus mengikuti peraturan yang berlaku di Libya dan Mesir. Sebab, mereka melintasi dua negara tersebut.
Akan tetapi, di sisi lain, pemerintah Mesir dan Libya semestinya menyadari kedaruratan yang terjadi di Jalur Gaza. Seharusnya, tegas Kiai Sudarnoto, Kairo dan Tripoli memberikan kemudahan agar long march ini bisa mencapai tujuannya.
Maka, Kiai Sudarnoto menengarai, ada tekanan Israel di balik sikap keras Kairo dan Tripoli. MUI pun berharap, kedua negara Islam itu dapat lepas dari bayang-bayang Tel Aviv.
"Feeling saya, Israel berkepentingan sekali untuk mempengaruhi atau bahkan menekan Mesir dan Libya agar menghentikan long march," ujar Kiai Sudarnoto dalam keterangan tertulis, Senin (16/6/2025).

View this post on Instagram
Ia menegaskan, Global March to Gaza yang diikuti ribuan orang ini semata-mata digerakkan oleh nurani kemanusiaan. Para peserta adalah masyarakat sipil dari berbagai negara yang menunjukkan keprihatinan mendalam terhadap kondisi rakyat Jalur Gaza, yang berbulan-bulan diserang militer Israel.
"Blokade ini tindakan tidak beradab dari Israel karena telah mengorbankan, membunuh, dan menghancurkan warga sipil secara keseluruhan. Kemudian (Israel) menguasai seluruh wilayah Palestina," ucap Kiai Sudarnoto.