Rabu 15 Feb 2017 17:45 WIB

Dua Pilihan Abdurrahman Al Gonzaga

Rep: Yusuf Assidiq/ Red: Agung Sasongko
Mualaf (ilustrasi)
Foto:

REPUBLIKA.CO.iD, JAKARTA -- Sampai datang bulan suci Ramadhan. Tiada satu warung makan yang buka. Abdurrahman yang masih Nasrani, kesulitan untuk dapat makan siang. Terpaksa ia harus berjalan jauh agar menemukan warung yang buka. Langkah kaki membawanya ke sebuah kedai makan kecil di dekat rumah orang tua angkatnya di Condong Catur. Dia pun mampir dan makan di sana.

Terdorong rasa penasaran, usai makan Abdurrahman bertanya kepada si pemilik warung. Namanya Bu Sarjono, pensiunan pegawai TVRI. Ibu puasa tidak? tanya dia. Lantas dijawab, ya. Abdurrahman bertanya lagi, Apakah saat saya makan, ibu terganggu? Bu Sarjono menjawab kembali, Saya memang puasa, Mas. Tetapi, sewaktu melayani orang makan, ya tidak masalah.

Seketika jawaban itu mengagetkan Abdurrahman. Saya terpana, tapi heran. Itu pengalaman luar biasa bagi saya. Bagaimana tidak, ada orang sedang berpuasa, lantas melihat orang makan, tapi dia tidak terganggu. Ini sulit saya pahami, dia menuturkan. Sepanjang perjalanan pulang ke indekos, dia masih terngiang kata-kata Bu Sarjono.

Bahkan hingga menjalani ibadah ke biara, baik pagi, siang, petang, maupun malam, apa yang didengarnya itu tetap membekas. Ditambah dengan pengalamannya bersama komunitas Muslim di Kampung Lelet. Abdurrahman merasa tambah dekat dengan Islam. Setiap upaya untuk mencoba mengabaikan rasa itu, termasuk dengan aktif di kegiatan gereja, tidak juga menolong. Akhirnya, saya ber kesimpulan, dalam Islam juga ada cinta kasih.

Awal 2000, rasa gelisahnya semakin kental. Ia tak kusuk lagi beribadah di gereja. Kepada orang tua angkatnya yang juga tokoh gereja, ia lantas ungkapkan unek-uneknya, namun mendapat reaksi keras. Ia diminta tidak lagi berbaur dengan keluarga Sarjono atau umat Islam lainnya. Ia tidak boleh keluar rumah, dan diminta memperbanyak meditasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement