Kamis 09 Feb 2017 11:30 WIB

Pemerintahan Islam ala Abbasiyah

Rep: Syahruddin el-Fikri/ Red: Agung Sasongko
Kota Baghdad pada masa Abbasiyah berbentuk bundar.
Foto: bbc.co.uk
Kota Baghdad pada masa Abbasiyah berbentuk bundar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintahan Abbasiyah sebetulnya tidak banyak berbeda dari Dinasti Umayyah karena sejak awal Abbasiyah senantiasa berhadapan dengan berbagai pesaing politik, cenderung menyingkirkan para pesaingnya, dan juga berjasa dalam menaikkan dinasti baru ke takhta pemerintahan. Hal ini diikuti pula dengan usaha mengonsentrasikan kekuasaan di tangan khalifah.

Konsentrasi kekuasaan di tangan khalifah ini terjadi secara efektif pada masa Khalifah al-Mansur (754-775) dan Khalifah Harun ar-Rasyid (786-809). Ini tampak jelas dengan dibangunnya Baghdad sebagai ibu kota baru Abbasiyah.

Pemerintahan Abbasiyah mengangkat seorang gubernur (amir) untuk memimpin suatu wilayah. Hal ini disebabkan oleh kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang semakin luas.

Agar sistem pemerintahan berjalan efektif, khalifah membentuk sistem birokrasi pada era awal kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Salah satunya adalah mengadakan jabatan baru seperti wazir. Wazir adalah penasihat khalifah dengan tingkat pengaruh yang beraneka ragam, tetapi kemudian bisa bertindak sebagai kepala pemerintahan.

Pemerintahan dibagi menjadi sejumlah departemen (diwan). Ada diwan yang membawahi kegiatan militer, administrasi, dokumentasi, dan pembendaharaan. Jumlah diwan cenderung bertambah karena kompleksnya pemerintahan dan luasnya wilayah kekuasaan.

Di samping mengangkat wazir dan pejabat birokrasi lain, khalifah juga menunjuk hakim agung (qadli al-qudlah) dari kalangan ulama terkemuka. Hakim agung ini menunjuk dan mengirim hakim ke provinsi-provinsi. Para hakim provinsi kemudian mengangkat perangkat personalia peradilannya masing-masing.

Di samping itu, ada lembaga lain yang disebut mazalim, yaitu lembaga ekstrayudisial, tempat para khalifah atau gubernur mendengar keluhan dan laporan langsung dari rakyat. Materi hukum dan prosedur yang diterapkan lembaga ini tidak seketat yang telah dibakukan dalam fikih.

Sentralisasi anggaran

Untuk menjalankan pemerintahan, telah disediakan anggaran khusus. Anggaran negara ini pertama diperoleh dari hasil pajak. Jenis pajak yang paling penting adalah kharaj, yaitu pajak atas tanah dan hasil pertanian. Kedua, anggaran negara bersumber dari jizyah, yaitu pajak yang dipungut dari rakyat non-Muslim sebagai kompensasi atas dibebaskannya mereka dari kewajiban militer. Sumber ketiga adalah zakat yang diwajibkan kepada seluruh orang Islam.

Salah satu ciri yang cukup menonjol dalam pemerintahan Dinasti Abbasiyah adalah sistem sentralisasi kekuasaan, terutama dalam masalah administrasi keuangan dan perpajakan. Ini adalah salah satu yang membedakannya dari kekuasaan Umayyah.

Perkembangan administrasi keuangan dan perpajakan mendapatkan bentuknya yang lebih sempurna sejak kelompok Baramikah menjadi pelaksana pemerintahan pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid. Implikasi dari sentralisasi ini ialah adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk memastikan bahwa provinsi memberikan sumbangan yang memadai untuk mendukung pemerintahan pusat.

Oleh sejumlah khalifah, anggaran ini dibelanjakan untuk mengembangkan dan memperluas sawafi (tanah negara) sebagai salah satu sumber penting bagi keuangan negara. Cara pengelolaan uang negara seperti ini memiliki dampak positif. Sepeninggal Khalifah al-Mansur dan Harun ar-Rasyid, negara telah memiliki sumber keuangan yang lebih dari cukup. Dengan sumber keuangan negara yang cukup besar ini, kekuasaan Abbasiyah dibangun atas fondasi ekonomi pertanian yang subur dan perdagangan yang luas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement