Kamis 02 Jan 2025 15:08 WIB

Sejarah Kordoba, Permata Islam di Spanyol

Kordoba menjadi kota pusat keunggulan Islam di Eropa pada masanya.

(ilustrasi) Area sekitar Masjid Kordoba di Spanyol. Kini, masjid tersebut telah menjadi sebuah katedral.
Foto: tangkapan layar wikipedia.org
(ilustrasi) Area sekitar Masjid Kordoba di Spanyol. Kini, masjid tersebut telah menjadi sebuah katedral.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam bahasa Arab, Kordoba bernama al-Qurthubah al-Thayyibah. Letaknya di Semenanjung Iberia (kini Spanyol). Kota ini mencapai zaman keemasannya di bawah kesultanan Khalifah al-Hakam II (wafat 976).

Sang khalifah rupanya juga seorang yang haus akan ilmu pengetahuan. Dalam setiap lawatannya ke negeri-negeri luar, ia kerap memborong buku-buku untuk memperkaya perpustakaan pribadi. Sebagaimana Baghdad di timur, Kordoba juga menjadi pusat aktivitas intelektual, utamanya penerjemahan teks-teks dari pelbagai peradaban dunia ke dalam bahasa Arab.

Baca Juga

Tidak kurang dari 70 perpustakaan publik tersebar merata di seantero Kordoba dalam abad ke-10 Masehi. Tidak mengherankan bila kota ini mendapatkan julukan “Permata Eropa.” Sebab, hampir seluruh Eropa, utamanya yang didiami bangsa Frank (Prancis) atau Roma sekalipun, di saat yang sama sedang diliputi Abad Kegelapan.

Kota ini dilengkapi dengan pelbagai fasilitas yang amat jarang dijumpai kota-kota lain di penjuru Eropa. Misalnya, lampu-lampu penerangan, jalan umum yang bersih, kolam-kolam air mancur, bangunan-bangunan indah, taman, hingga toko-toko buku. Segenap fasilitas umum itu sudah dibangun sejak kekuasaan Khalifah Abdurrahman I, sang amir pertama Kordoba (756-788).

Oleh karena itu, Kordoba menjadi rujukan bagi para penguasa Eropa untuk mendapatkan kemewahan hidup. Umpamanya, Raja Leon atau penguasa Barcelona memerlukan seorang dokter, perancang bangunan atau busana, maka mereka akan mencarinya di Kordoba. Meskipun dikuasai Islam, penduduk Kordoba merupakan masyarakat yang heterogen.

Dalam era Khalifah al-Hakam II, Universitas Kordoba mengalami perkembangan yang signifikan. Bahkan, lembaga tersebut menjadi perguruan tinggi yang paling disegani di seantero Eropa masa itu—sebanding dengan Universitas al-Azhar di Kairo atau Universitas Nizamiyah di Baghdad.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

Banyak pelajar dari berbagai wilayah Eropa, Afrika Utara, serta Asia, datang untuk menimba ilmu di sini. Apalagi, kampus itu terbuka kepada baik Muslim maupun non-Muslim. Salah satu tokoh Kristen yang ikut belajar di sini adalah Gerbert d’Aurillac (945-1003), yang kelak menjadi Paus Sylvester II.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement